Sepatu
Harapan
Oleh:
Haris Abdullah
Menjadi pesepakbola handal adalah mimpi hampir
setiap anak lelaki. Termasuk aku. PerDam-FC, adalah klub kebanggaan kampung
kami. Klub berumur sebulan yang terbentuk oleh impian anak-anak. Klub yang
memiliki dua belas pemain, tanpa pelatih bahkan lapangan. Lahan satu-satunya
yang terletak di tengah-tengah kampung sungguh serbaguna. Pagi setelah subuh,
biasanya ibu-ibu muda bermain bulutangkis, sedangkan kami, dapat jatah siang
atau sore. Dan kami memanfaatkannya dengan baik.
Aku lupa jadwal pertandingan waktu itu, seingatku
setelah lebaran baru digelar, tahun 1995, dan aku masih duduk di kelas empat
SD. Dengan semangat darah anak-anak, kami berlatih tanpa kenal waktu. Terlebih selama
Ramadhan seluruh sekolah diliburkan, maka selepas subuhpun kami berlatih karena
ibu-ibu cuti bermain. Beberapa hari kemudian, kami kedatangan “lawan” yang
mengajak kami latih-tanding. Sungguh, semangat kami tak terkirakan waktu itu.
Kami menyepakatinya.
Saat pertandingan kecil itu digelar, lawan
menertawakan kami. Ya, kami akui, tertawaan itu wajar kami dapatkan. Betapa
tidak? Tak satupun diantara kami yang memakai sepatu bola: ceker ayam! Tapi kami
tak gentar, meski lawan terkenal bagus kami gigih memberikan perlawanan. Skor
0-1 untuk kemenangan kami. Inilah pertandingan perdana dalam sejarah PerDam-FC.
Melihat perjuangan kami, pak RT memberikan respon
positif. Beliau memberikan lahan itu buat kami sepenuhnya dan membantu kami
membayarkan uang pendaftaran ikut pertandingan termasuk merekrut seorang
pelatih dari salah satu SSB di Kota Bandung, Pak Teja. Sekali lagi, kami buat
beliau kagum. Namun satu syarat yang menyebabkan kami harus ekstra berkorban:
sepatu. Kami sangat menginginkannya, tapi sayang, rata-rata kehidupan kami
tidak mendukung.
Satu celah harapan terbentang: lebaran. Ya, hanya
lebaran yang beri kami hadiah. Selemah apapun kondisi ekonomi, bila menjelang
lebaran, tak ada satupun orangtua yang tega membiarkan anaknya gigit jari tanpa
pakaian baru. Maka, kamipun bekerja ala anak-anak PerDam-FC...
Juan Pratama, striker utama kami, pembobol gawang
lawan di pertandingan pertama, menangis meraung-raung pada ayahnya. Wawan,
pemain sayap kiri ini memilih menghantarkan makan sahur untuk ibunya yang
bekerja di pabrik, menurutnya itu cara paling ampuh untuk meluluhkan kepelitan
ibunya. Ujang Gaok, pengatur serangan ini lain kisah, dia menjadi kuli bangunan
ikut pamannya, dengan harapan dapat THR. Berbeda dengan Deden, bek tengah ini
memang sudah dapat jatah dari bibinya yang berdagang di pasar. Sedangkan aku,
kiper kebanggaan desa Pasawahan ini lebih suka ikut tetangga dagang ikan mas
keliling, upah Rp.1500 perhari selalu
aku simpan di saku kutang nenekku.
Alhasil, kami merayakan idul fitri di tengah
lapangan...***
Sekitar dua minggu lebaran berlalu, pertandinganpun
dimulai dengan menggunakan sistem gugur dan diikuti oleh 16 klub peserta dari
penjuru kampung. Lapangan Desa Pasawahan jadi pilihan, luasnya hanya cukup
untuk rotasi enam pemain. Nampak semua klub begitu antusias dan bersemangat,
tak tertinggal pula PerDam-FC. Kami klub pertama yang bertanding waktu itu.
Melawan klub tetangga, Angga Carang FC.
Pertandingan berlangsung 2X30 menit, alot dan
melelahkan. Tapi kami selalu giat melawan hingga wasit meniup pluit panjang. Penonton
bergemuruh ketika sepatu Juan Pratama diangkat dan kami membungkuk hormat. Kami
menang!
Lima hari kemudian, di posisi delapan besar kami
melawan klub Curug Candung (saya lupa nama klubnya), skor telak menjadi milik
kami—4-0. Namun sayang, di pertandingan dua hari berikutnya kami mesti menyerah
pada ketangguhan klub Karasak, yang menjadikan mereka kampiun masa itu.
Keesokan harinya setelah lelah melawan SSB tuan
rumah untuk memperebutkan tempat ketiga serta menyaksikan pengumuman hasil
pertandingan final, kami pulang dan berkumpul di rumah Pak RT yang sudah
dikerumuni warga. Kami duduk melingkar menghadap ke arah meja bundar menatap
sepatu-sepatu kami yang berjejer rapi mengawal sebuah benda bertuliskan,
“Perbas Dalam Football Club, Juara Harapan I Pertandingan Sepakbola Piala
SIPUR”.
“Juara Harapan”. Harapan yang selalu terpancar
hingga kini, meski kami tak menjadi juara.
***