Kamis, 16 Februari 2012

coretan tinta sang penjual gorengan



“Bintang di Balik Angsana”
     
Jika kau ke kampungku, kau akan mendapati hamparan sawah seperti karpet di hotel bintang lima yang luas berteras-teras. Di antaranya pula kau bisa melihat, betapa dedaunan mini dan rumput ilalang asyik di bawah naungan pohon angsana dan albasia yang dipenggal oleh jalan kecoklatan yang apabila disirami panas mentari matamu akan silau dibuatnya.
Di sebelah kanan, kau tidak akan melihat apa-apa, karena di sana gunung berkerumun, membentuk tubuh yang saling melindungi. Tapi sebelah kirinya lain. Di situ gunung Mesjid berdiri, sedangkan di bawah lututnya bersembunyi gua Dapur tempat manusia pra sejarah menyimpan hasil panen mereka. Lalu di sebelah sebelumnya darimu, sekumpulan batu berbaris rapi hingga pinggir jalan menuju Balekambang, namanya Cadas Juragan.
Sedangkan aku memandang tiap petang, menanti mentari turun tahta sambil memandang ke arah yang aku bicarakan tadi dari atas bukit yang hampir runtuh. Dari sini, aku memperhatikan seorang anak mengikuti jejak bapaknya menjadi seorang kuli batu. Ya, kuli batu kapur.
Dari sini pula, aku melihat dengan mata sayu, seorang pemuda mengangkat batu seberat separuh tubuhnya lalu mengangkutnya ke dalam truk tua yang mereka panggil “Biawak”. Entah dari mana asal nama itu, dari penampilannya sedikitpun tak ada kemiripan dengan binatang itu. Ah... aku tak pernah bertanya tentangnya. Cuma aku pernah mendengar obrolan di antara para pekerja, mereka pernah bilang bahwa nama itu hanya pemiliknya yang pertama yang tahu. Sedangkan dia sudah tiada.
Lalu tak jauh dari pemuda itu, sedang asyik seorang ibu menyertai anak dan suaminya di antara bebatuan, menyisihkan kerikil serpihan batu yang dipukul tepat pada uratnya, lalu dikumpulkan dan ditimbang. Melupakan fitrah keibuannya.
Akupun sama: menjadi pemecah batu. Tepat seminggu setelah aku lulus sekolah, empat tahun lalu.
***
Angin selalu menghembus kencang apabila pagi menyapa. Terkadang mulutku mengumpat karena tak kuat menahan dingin yang menusuk tulang. Ini pertanda buruk bagiku, bagi anak yang ikut bapaknya, pemuda dan seorang ibu yang mendampingi suaminya. Angin ini kerontang, tak banyak membawa kehidupan. Melayukan tanaman, menghempaskan dahan-dahan bahkan mengangkut akar pohon hingga tercabut tanpa sisa. Apabila bekerja, setelahnya akan merasakan nyeri yang luar biasa pada persendian.
“Angin kemarau,” baru kali ini si Anak membuka pendapat. Aku tersenyum kecut: anak karbitan! Tapi aku sependapat, pasalnya hujan sudah hampir di penghujungnya. Biasanya, menjelang kemarau angin bertiup lebih kencang dua kali dari biasanya.
“Bukan, ini angin bala’,” timpal pemuda yang setia memikul martil seberat enam kilogram—kakaknya—sambil jahil tangannya menjitak kepala si Anak yang membalas dengan pukulan kecil di paha kakaknya. Aku melengos: sok tahu...
Kenapa si Bapak tak buka mulut? Amatku setengah mati.
Di matanya terlihat, dia sedang memperhatikan si Anak dan pemuda yang berdiri gagah di hadapannya. Di pipinya nampak geraham saling beradu. Sesekali dia memperhatikan anak dan pemuda itu, sesekali juga melirik ke arah istrinya. Mungkin dia sedang memandang istrinya dengan perasaan iba. Bagaimana tidak? Pagi buta, sebelum matahari muncul sudah menyiapkan makanan, siangnya membantunya bekerja, malamnya—tentu kalau tak terlalu lelah—melayaninya. Hah... tak sampai aku merasakannya.
Ada cekungan kelabu di kelopak matanya. Mungkin dia akan menyerah kali ini. Sebab, di siang hari puluhan ton batu terbelah di tangannya, sedangkan ketika malam, lumpur sawah tak pula luput dipijaknya memburu lindung yang keluar mencari makan. Kuajukan pertanyaan agar lebih jelas keadaannya.
“Capek, Pak?”
“Tidak,” jawabnya ringkas—pasti bohong. Tidak membuatku puas.
“Kenapa tak berhenti saja?” kupertajam persoalan, siapa tahu pancinganku tersangkut. Kutahu, telah seumur pemuda itu dia bergelut dengan batu. Seharusnya ada yang tersimpan dalam tabungannya, paling tidak di usianya kini dia sudah merasakan nikmatnya jerih payah selama bertahun-tahun memecahkan batu.
“Belum niat,” katanya. Lagi-lagi hatiku hampa dibuatnya, barangkali di lain waktu. Mungkin hatinya sudah keras seperti batu yang sehari-hari menjadi bagian hidupnya.
Kutunggu sampai angin reda...
“Kau?” tanyanya tiba-tiba menyambut penantianku.
Aku terhenyak, “Apa?”
“Ya, bagaimana dengan kau?”
“Saya?” tanyaku balik. Dia mengangguk secepat kilat.
“Ada banyak hal yang tertinggal selama saya bekerja. Mungkin...” jawabku bimbang.
 “Kenapa?” cecarnya lagi membuatku gerah.
“Oh, kalau saya... sepertinya gak lama lagi berhenti.” berbagai lipatan di wajah merubah ekspresiku. Aku sadar, si Bapak pasti heran dengan sikapku yang seperti ini. Kuraih martil yang sedari tadi berada di bawah kakiku.
“Sepertinya si Bos sudah datang. Nanti kita lanjutkan,” aku mengelak sekuat tenaga, menjauhi prasangka yang pasti berputar-putar di benaknya. Si Bapak menyetujui meski memandangku dengan tatapan sangar. Memikul martil miliknya sebagaimana aku memikul martil milikku beranjak menuju Biawak yang menanti untuk disuapi.
Batu yang ada di hadapanku merupakan bagian dari bukit yang kuinjak kemarin. Ada banyak bekas tikaman benda tajam di tubuhnya. Nampaknya pertahanannya roboh dihujani pukulan beko toktrok tiga hari terakhir. Apalagi kemarin sore, sejam setelah aku berdiri mematung di sana, tiga dentuman terdengar begitu menggema—dibom. Menghancurkan sebagian kecil bukit yang tinggal setengah. Tadinya aku membayangkan, betapa manfaat akan banyak didapatkan dari hasil pengolahan batu kapur yang diledakkan ini. Tapi...
Si Anak menghampiriku, menghentikan pekerjaanku sejenak. Di raut mukanya ada gurat kesedihan.
“Kenapa?” tanyaku kasihan. Merah di mukanya tak bisa dibendung. Di kedua sudut matanya mengalir butiran air—menangis. Hatiku ikut menangis.
“Kakakmu nakal?” soalku lagi. Dia menggeleng sambil sebelah lengannya menyeka pipinya. Kubantu dia menyeka pipi sebelahnya. Aku menganggapnya adik sendiri, terlebih karena ketiga adikku lama tak tinggal bersamaku. Walau sebetulnya aku sering dibuatnya layaknya seorang pemuda yang bodoh. Tapi aku salut, meski tak lagi sekolah dia masih nampak semangat untuk belajar.
“Abah...” jawabnya lirih seperti ada sesuatu yang mengganjal rongga mulutnya.
“Kenapa dengan Abahmu?”
“Uang tabungan saya dihabiskan Abah,” katanya mengadu.
“Untuk apa?” telitiku kemudian.
“Aaa...!” jawabnya berteriak penuh kesal, mengundang perhatian semua orang.
***
Sudah empat hari ini si Anak tak ikut bapaknya. Hatiku sungguh merindukannya. Berbagai dugaan menggelayuti fikiranku: sakitkah? Atau kemana? Entah mengapa, selama itu pula aku enggan menanyakan keadaannya pada si Bapak. Padahal tak sampai sepuluh meter aku dengannya. Tapi kali ini aku akan coba menanyakan. Nanti, setelah pekerjaan hari ini selesai...
Sepuluh ton telah terkumpul: satu biawak lebih sedikit. Sore ini langit tak bersahabat, nampak berkabung di sana. Sejurus kemudian, benih-benih hujan menyapa dan tak lama menyerbu. Aku segera menghentikan pekerjaan dan mengemas perkakas yang biasa kubawa. Warung Bu Ira kutuju dengan tergesa, menghindari hujan yang kian membesar, sambil memesan segelas kopi dan sebatang keretek aku berteduh bersama beberapa pekerja yang lain yang juga memesan menu yang sama.
Langit beranjak menuju titik terkelam, tak ada sedikitpun cahaya nampak di atas sana. Sedangkan hujan makin riuh terdengar. Kuperhatikan sekeliling. Batinku terpaku, ada yang luput dalam ingatanku: si Bapak telah pulang.
Dengan pasrah aku mengurungkan niat untuk menanyakan si Anak itu padanya.
***
Siang ini aku ijin pada Bos untuk berhenti. Siang ini pula aku tak melihat si Anak dengan bapaknya. Hanya pemuda itu yang masih bekerja dengan ibunya yang nampak muram. Aku diberinya gaji sebanyak lima puluh ton yang seharusnya tunai enam puluh ton. Yang sepuluh ton lagi potongan, katanya. Aku ikhlas, inilah rejekiku.
Aku sudah merencanakannya sejak lama, aku ingin kuliah. Kukhususkan waktuku kali ini untuk menanyakan kabar si Anak langsung ke rumahnya yang agak jauh dari pertambangan. Melewati satu kampung di belakang bukit Asar tepat di kaki gunung Mesjid.
Dari bawah gapura desa, kulihat si Bapak duduk termenung seorang diri di bawah pohon angsana di depan rumahnya yang beratap daun kelapa, berdinding bilik bambu beralaskan tanah. Sambil duduk bersila menghisap sebatang keretek, matanya nanar entah tujuan. Kudekati perlahan karena takut mengejutkannya. Aku duduk di dekatnya, sepertinya dia tak menyadari kehadiranku. Kusapa dia hati-hati,
“Apa kabar, Pak?”
“Eh, Hasby?” jawabnya. Benar dugaanku, dia terkejut. Rokok yang dihisap asapnya menghembus wajahku. Sejenak dia merapikan duduknya dan memfokuskan diri kepadaku.
Gak kerja, Pak?” tanyaku kemudian. Dia menggeleng sambil membuang muka.
“Si Bungsu kemana?” aku mengawali maksud utamaku: menanyakan si Anak.
“Ada, di kamar,” jawabnya seperti kebiasaannya—singkat.
“Sakit?” tanyaku lagi.
Si Bapak bungkam.
“Terakhir ketemu sepertinya dia sedang sedih. Memangnya kenapa, Pak?”
Mendengar pertanyaanku yang satu ini, matanya berputar-putar seperti mencari sesuatu yang hilang. Jari tengahnya memetik abu rokok ke dalam asbak yang dipenuhi puluhan batang yang tidak habis dihisap. Dadanya bangkit dan tak lama setelahnya turun. Jelas tercium dari mulutnya bau yang menyengat.
“Kenapa kamu tanya seperti itu?” kilahnya dengan mata merah menyala.
“Si Bungsu pernah bilang, katanya dia mau sekolah lagi.” jelasku meluruskan maksudku yang kukira tak salah.
“Ya! Tapi, mana boleh?”
Lho, kenapa?”
“Kenapa lagi, kenapa lagi. Memangnya gak ada pertanyaan lain selain, ‘kenapa’?” selanya dengan nada meninggi. Aku maklum, memang sudah wataknya demikian. “Si Bungsu itu sudah keterlaluan! Bapaknya lagi kepayahan dia malah minta yang nggak-nggak.” lanjutnya seraya menunjuk pintu rumahnya.
“Memangnya minta apa?”
“Dia minta ikut kakaknya ke kota. Mana boleh begitu?” ujarnya sambil beranjak meninggalkanku begitu saja, menghilang di antara belukar beruntas yang tumbuh tak tertata.
Tak lama kemudian datang seorang wanita, tetangga si Bapak. Sambil melirik kanan-kiri dia berbisik dekat telingaku, “Si Bapak semalam memukuli si Bungsu.” katanya.
Seperti tersambar geledek, aku terperanjat luar biasa. Segera kutinggalkan wanita itu lalu masuk ke dalam rumah yang pintunya tak pernah dikunci. Kucari kamar yang dimaksud si Bapak tadi. Setelah sekali salah masuk, akhirnya aku temukan sebuah balai kecil yang terbuat dari papan kayu tertutup selembar gordin lusuh biru tua yang sudah pudar, di atasnya bertumpuk puluhan pakaian yang tak sempat dilipat, mungkin baru kering. Di salah satu tiang kulihat foto si Anak sedang berdiri di depan rak buku yang berderet rapi sambil mengangkat piala: Juara I Lomba Sains Internasional Se-Asia Tenggara di Jakarta Tingkat SD.
Lalu, ada gerakkan kecil di sana: di antara tumpukan baju. Kuyakin itu si Anak. Kusisihkan satu per satu pakaian itu, kubuka dan...
“Bungsu!”
Kulihat si Anak di sana, sedang berjuang melepaskan diri dari kain yang mengikat tangan dan kakinya sementara mulutnya disumpal handuk kecil. Segera kubebaskan dia lalu kududukkan perlahan di atas pangkuanku. Di badan dan mukanya ada bekas pukulan. Benar kata wanita itu, gumamku geram.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyaku meyakinkan keselamatannya.
Dia mengangguk ragu sambil mengambil lalu memeluk sebuah buku bersampul merah yang tersembunyi di balik bantal. Pasti dia sudah kehabisan air mata. Pipinya cekung, ada lingkaran hitam membengkak di antara kelopak matanya.
“Ahhh...” suaranya serak tertahan.
“Kenapa kamu bisa seperti ini?”
Dia terisak. Tak menjawab.
“Kamu mau ke tempat kakakmu di kota?”
Dia mengangguk lalu menggeleng. Lho?
“Lalu?”
Dia masih terisak: diam.
“Kamu minta apa sama Bapakmu?” cecarku tak henti agar aku tahu alasan si Bapak menganiaya anaknya setega ini.
Dia masih tak menjawab.
“Kamu minta mainan?”
Gak,” ujarnya hampir tak terdengar. Akhirnya dia bersuara.
“Makanan mahal?”
Lagi-lagi dia menyanggah.
“Lalu kenapa? Kata Bapakmu, kamu minta yang nggak-nggak, apa?” cecarku penuh amarah. “Kalau kamu perlu apa-apa, bilang saja sama Akang, jangan sama bapakmu. Yuk, bilang, mau apa?” bujukku menentramkan hatinya.
Matanya berkaca terus mengalirkan airnya. Aku tahu ini akan menjadi masalah bagiku bila aku turut campur di dalamnya. Tapi hal seperti ini tidak bisa di biarkan. Ini kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan, bisa diancam pidana berat. Apalagi korbannya adalah anak-anak di bawah umur. Perlahan kududukkan si Anak supaya jelas menghadapku. Sedikit menggoncang-goncangkan tubuhnya mungkin akan membuka mulutnya.
Setelah beberapa kali mengusap air matanya si Anak menyerahkan buku yang digenggamnya padaku. Kubalikkan sampulnya, ternyata buku raport. Tertera di halaman muka: Yusman Irawan.
“Ini punyamu?”
Dia mengiyakan.
Fantastis! Ini yang keluar dari mulutku. Begitu kubuka lembaran-lembaran hasil belajar, nilainya rata-rata sembilan! Bulu kudukku berdiri semua, takjub setengah mati. Hatiku gerimis dibuatnya. Seorang anak kuli batu yang hebat.  Ternyata ini yang ditangisinya selama ini: mengejar prestasi. Seperti ada sebiji batu yang menghalangi tenggorokanku. Aku sungguh terharu sekaligus prihatin.
Sambil menggamit tanganku, si Anak berkata,
“Saya cuma minta seragam sekolah, Kang...”
***
Senin, 30 Januari 2012