Setiap pertemuan
tiga jam, selama delapan kali.
3 X 8 = 24...
24jam!
Artinya,
sehari semalam...
Dalam sehari
semalam perjumpaan, telah bermunculan berbagai hal diluar kesanggupan. Dalam sehari
semalam, terjadi hal yang siapapun tidak
tahu. Lagipula siapa yang sanggup dan tahu?
Teringat,
perputaran bumi pada porosnya; yang terjadi di dalamnya selama itu, baik-buruk,
senyum-tangis, do’a-umpatan, hilang-tumbuh, sesal-bangga, keluar-masuk,
benci-cinta dan sejuta tetek-bengek lainnya. Fuhhh, aku yakin, tak ada satupun
manusia di muka bumi ini yang menyadarinya secara detail.
Aku, adalah
‘wayang’ di dalamnya, di atas kancah kehidupan yang digerakkan oleh tangan Yang
Maha Menunjuk. Tangan mutlak yang tak mungkin bisa lari darinya. Hanya pasrah
tanpa mampu menduga-duga, apa yang akan dilakukan-Nya padaku. Ragu? Tak ada
yang kebetulan di dunia ini, kawan. Ragu adalah sifat yang mustahil kita
jadikan alasan.
Perputaran itulah
yang menjadikanku berputar, bahkan jungkir balik layaknya seorang akrobatik
yang hanya tahu dua-tiga teknik. Yang masih kikuk bila harus menampilkan teknik
lainnya. Meski kikuk, tetap harus ditampilkan. Tak peduli orang menertawakan,
melongo dengan pandangan skeptik, menilai “dungu”, bodoh, tak layak, menjitak
dari belakang, tepuk tangan seolah tangannya buntung, lari dari kemungkinan
buruk penampilanku, bahkan mungkin berikrar tuk mengkudeta tempatku berdiri.
“Aku hanya
wayang.”, jawabku untuk mereka dalam hati. Dia yang menggerakkanku. Dia yang
mendesainku menjadi seorang yang hanya mampu menguasai dua-tiga gerakan. Dia pula
yang menancapkan kakiku di hadapan kalian. Kalau mau protes, proteslah
pada-Nya. Bila hendak mengumpat, dihadapan-Nya, jangan padaku. Sekali lagi, aku
hanya sebongkah kayu yang diukir-Nya agar kalian me-tertawa-i, me-longo-i, me-bodoh-i,
me-skeptik-i, me-jitak-i dan me-lain-lain-i.
Dan, kancah
itu bernama, “Kreasi Akbar”. Kancah yang sama sekali asing, baik di telinga,
lidah, pikiran, bahkan hati. Kancah ini terlalu terjal, bukan karena medannya
naik-turun, berbelok-belok atau bergang-gang. Tapi lebih disebabkan oleh kaki
yang belum lagi bisa melangkah. Bukan hanya itu, umurku terlalu dini buat
menapakinya. Aku hanya bayi 24 jam. Yang baru bisa menangis dan melihat
sehari-semalam. Apa yang bisa dilakukannya? Ya, hanya manangis dan menatap. Wajar
kalau bayi ini ditertawakan bila dia memaksa melangkah, “Dasar bodoh, dungu. Wajar
kalau kau dijitak!”.
Biar! Beri aku
kesempatan. Beri aku waktu barang sebulan-dua. Maka lihatlah!
Aku, bukan
sembarang bayi. Dalam tubuhku menjangkit satu keistimewaan: Syndrom Gigantisme.
Syndrom yang kalian tak punyai. Aku mampu tumbuh tiga-bahkan lima kali lebih
cepat dari kalian! Suatu saat kalian akan melihatku dengan muka mendongak,
memaksa leher kalian patah dan merasakan nyeri di setiap buku tulang belakang. Dan
aku akan melihat kalian dari hadapan. Mata kalian terbelalak, mulut kalian
menganga dan hidung kalian akan mudah kemasukan air bila hujan turun. Ya beri
aku waktu, dan kan kutepati nazarku.
Walau harus
kuakui, sekarang bukan saatnya. Syndrom itu akan tumbuh alami, tapi aku tidak
tahu kapan.
Yang hadir
di hati hanya umpatan ikhlas, “Mengapa kalian menunjukku agar kalian
tertawakan? Mengapa kalian mengatasnamakan cinta bersyarat untuk meluluhkan
hatiku? Mengapa pula, dan mengapa?”. Kalau kalian bukan orang tua dan kakakku,
niscaya aku akan memohon kepada Yang Maha Menunjuk agar menunjukmu menjadi
diriku...
Menanti “Syndrom”
itu tumbuh hingga H-5... (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar