Senin, 23 April 2012

Syndrom Gigantisme bag. I


Setiap pertemuan tiga jam, selama delapan kali.
3 X 8 = 24...
24jam!
Artinya, sehari semalam...
Dalam sehari semalam perjumpaan, telah bermunculan berbagai hal diluar kesanggupan. Dalam sehari semalam, terjadi hal yang  siapapun tidak tahu. Lagipula siapa yang sanggup dan tahu?
Teringat, perputaran bumi pada porosnya; yang terjadi di dalamnya selama itu, baik-buruk, senyum-tangis, do’a-umpatan, hilang-tumbuh, sesal-bangga, keluar-masuk, benci-cinta dan sejuta tetek-bengek lainnya. Fuhhh, aku yakin, tak ada satupun manusia di muka bumi ini yang menyadarinya secara detail.
Aku, adalah ‘wayang’ di dalamnya, di atas kancah kehidupan yang digerakkan oleh tangan Yang Maha Menunjuk. Tangan mutlak yang tak mungkin bisa lari darinya. Hanya pasrah tanpa mampu menduga-duga, apa yang akan dilakukan-Nya padaku. Ragu? Tak ada yang kebetulan di dunia ini, kawan. Ragu adalah sifat yang mustahil kita jadikan alasan.
Perputaran itulah yang menjadikanku berputar, bahkan jungkir balik layaknya seorang akrobatik yang hanya tahu dua-tiga teknik. Yang masih kikuk bila harus menampilkan teknik lainnya. Meski kikuk, tetap harus ditampilkan. Tak peduli orang menertawakan, melongo dengan pandangan skeptik, menilai “dungu”, bodoh, tak layak, menjitak dari belakang, tepuk tangan seolah tangannya buntung, lari dari kemungkinan buruk penampilanku, bahkan mungkin berikrar tuk mengkudeta tempatku berdiri.
“Aku hanya wayang.”, jawabku untuk mereka dalam hati. Dia yang menggerakkanku. Dia yang mendesainku menjadi seorang yang hanya mampu menguasai dua-tiga gerakan. Dia pula yang menancapkan kakiku di hadapan kalian. Kalau mau protes, proteslah pada-Nya. Bila hendak mengumpat, dihadapan-Nya, jangan padaku. Sekali lagi, aku hanya sebongkah kayu yang diukir-Nya agar kalian me-tertawa-i, me-longo-i, me-bodoh-i, me-skeptik-i, me-jitak-i dan me-lain-lain-i.
Dan, kancah itu bernama, “Kreasi Akbar”. Kancah yang sama sekali asing, baik di telinga, lidah, pikiran, bahkan hati. Kancah ini terlalu terjal, bukan karena medannya naik-turun, berbelok-belok atau bergang-gang. Tapi lebih disebabkan oleh kaki yang belum lagi bisa melangkah. Bukan hanya itu, umurku terlalu dini buat menapakinya. Aku hanya bayi 24 jam. Yang baru bisa menangis dan melihat sehari-semalam. Apa yang bisa dilakukannya? Ya, hanya manangis dan menatap. Wajar kalau bayi ini ditertawakan bila dia memaksa melangkah, “Dasar bodoh, dungu. Wajar kalau kau dijitak!”.
Biar! Beri aku kesempatan. Beri aku waktu barang sebulan-dua. Maka lihatlah!
Aku, bukan sembarang bayi. Dalam tubuhku menjangkit satu keistimewaan: Syndrom Gigantisme. Syndrom yang kalian tak punyai. Aku mampu tumbuh tiga-bahkan lima kali lebih cepat dari kalian! Suatu saat kalian akan melihatku dengan muka mendongak, memaksa leher kalian patah dan merasakan nyeri di setiap buku tulang belakang. Dan aku akan melihat kalian dari hadapan. Mata kalian terbelalak, mulut kalian menganga dan hidung kalian akan mudah kemasukan air bila hujan turun. Ya beri aku waktu, dan kan kutepati nazarku.
Walau harus kuakui, sekarang bukan saatnya. Syndrom itu akan tumbuh alami, tapi aku tidak tahu kapan.
Yang hadir di hati hanya umpatan ikhlas, “Mengapa kalian menunjukku agar kalian tertawakan? Mengapa kalian mengatasnamakan cinta bersyarat untuk meluluhkan hatiku? Mengapa pula, dan mengapa?”. Kalau kalian bukan orang tua dan kakakku, niscaya aku akan memohon kepada Yang Maha Menunjuk agar menunjukmu menjadi diriku...

Menanti “Syndrom” itu tumbuh hingga H-5... (bersambung)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar