Jumat, 20 April 2012

Aku dan Jodoh



“Memilih Takdir Setengah Hati”
    Ditulis oleh: Haris Abdullah
Yusnia, wanita yang tengah kukejar ini begitu menggoda. Matanya, hidungnya, oval mukanya sungguh tak bisa kuhilangkan dalam list jodohku. Melihatnya, seperti bidadari, meskipun sebetulnya tak ada satupun orang yang bisa menggambarkan secara pasti kejelitaannya. Paling tidak, menurutku memang dia wanita yang paling cantik.
Di persimpangan jalan, kutunggu dia. Setiap Senin hingga Jumat biasanya dia baru pulang dari pekerjaannya sebagai guru SMA pukul lima. Maklum, jika pagi—yang aku tahu—dia mengajar les privat di salah satu tempat kursus di Alun-alun kota. Biasanya pulang sendiri dengan menaiki motor otomatisnya yang berwarna merah muda. Allamak, coba tengok: tubuhnya yang semampai selaras dengan jalannya yang lenggak-lenggok seperti model di atas catwalk. Aduhai... hatiku cenat-cenut!
Kupandangi dia tanpa berkedip, kuperhatikan dengan seksama. Jantungku makin keras berdebar mengantarnya hingga hilang dari pandangan ditelan oleh kendaraan yang berebut jalan. Aku puas meskipun kembali kubatalkan untuk membuka perkenalan dengannya—untuk kesekian kalinya.
Kukayuh sepeda ontelku merasuk diantara kendaraan-kendaraan bermesin yang berebut jalan, menyusun rencana berikutnya.
***
“Mak, saya mau nikah,” kubuka pembicaraan dengan Emak di dalam kamarnya. Biasanya selepas Shubuh, beliau masih duduk di atas kasur menyelesaikan hitungan tasbih yang masih tertunggak. Emak menghentikan dzikirnya, memandang tepat ke wajahku. “Wanita mana lagi yang mau Hasbi tawarkan sama Emak?” ujarnya sambil membelai rambutku, persis seperti waktu kecil dulu.
“Ada, Mak. Cantik, dan kelihatannya sholehah,” kataku seraya menyandarkan diri di pangkuannya.
Emak mendesah dan menghentikan belaiannya, “Kamu yakin dia sholehah?”
Aku mengangguk pelan.
“Nak, kalau Emak terserah kamu saja. Tapi cari yang bisa menerima kita apa adanya. Jangan hanya menuruti hawa nafsu saja,” nasehatnya. Memang, beberapa kali kutawarkan gadis kepada Emak, semuanya mengecewakan: pertama, Dena. Wanita periang yang kukira baik hati, tapi kenyataannya dia telah menyakiti. Waktu itu, dia sedang dibonceng seorang pria di jalan menuju pasar. Setelah diselidiki, ternyata pacarnya. Akupun mundur.
Setengah tahun kemudian, Wanda, gadis seberang. Beberapa kali kuajak ke rumah supaya akrab dengan Emak hingga beliau menyukainya. Sudah beberapa kali juga aku ke kontrakannya, mengakrabi ibunya yang sudah tua bahkan aku sudah dianggapnya anak sendiri. Sayang, beberapa hari lagi aku mau melamarnya, dia dibawa pulang paksa kakaknya karena mau dinikahkan dengan pedagang kaya di sana.
Yang paling tragis adalah ketika di pesantren setahun kemudian. Berniat menuntut ilmu, malah disukai oleh putri bungsu Pak Kyai: Nur ‘Alimah. Belum genap sebulan berkenalan, kakak perempuannya menyuruhku menikahinya karena usianya yang hampir dua puluh delapan tahun, lebih tua dua tahun denganku. Katanya, setiap malam selalu membicarakanku, menyatakan kesukaannya padaku. Akupun membicarakan hal ini dengan Emak, “Sangat membanggakan punya besan Kyai dan menantu yang hafal Qur’an,” katanya. Semangat terpecut, aku menindaklanjuti hasrat baik itu. Kuungkapkan niatku pada Pak Kyai, beliaupun merestui. Sebulan kucari tambahan di samping jualan ikan di pasar. Biaya terkumpul, setidaknya cukup untuk mas kawin dengan walimah kecil-kecilan.
Namun harapan itu sirna. Manakala aku sudah jatuh cinta padanya disaat pertama kali kulihat wajah ayu di balik cadar ketika ta’aruf, tak lama setelahnya Pak Kyai wafat. Tahta perwalian jatuh ke tangan kakak pertamanya yang menjadi pensyarah di negeri jiran. Dia telah menyediakan calon suami untuknya: seorang ustadz muda keturunan Arab dari Singapura, anak seorang pengusaha minyak. Nur ‘Alimah menolak dengan alasan sudah ada calon yang dipilih Abahnya: Aku. Tapi kakaknya berkeras menjodohkannya dengan ustadz kaya itu, alasannya, dia tidak menyaksikan pernyataan Pak Kyai ketika itu. Percekcokanpun terjadi, akhirnya diambil jalan tengah: uji kelayakan. Aku menyerah dengan berat hati. Kapasitasku yang hanya setahun berguru tak sebanding dengan seorang ustadz yang telah malang melintang belasan tahun di bidangnya.
Emak sering mengurung diri semenjak itu, dan akupun mengalami trauma yang cukup panjang. Kini, setelah tiga tahun berlalu aku mencobanya lagi, agar Emak tak lagi murung. Berat rasanya melihat Emak setiap malam menangisi kesendirianku: dalam doa, dalam sujud, dalam hati...
***

Semua ikan habis terjual. Keuntungan besar terbayang dalam benak. Sudah saatnya aku jalankan dengan matang rencana itu. Empat tahun menata hati yang pecah, pelan-pelan tersusun kembali. Selama itu pula kukumpulkan uang agar ada pengganti sepedaku yang sering putus rantai dengan ontel bermesin yang lebih kokoh, sekarang sudah kumiliki. Gelar sarjana sebulan lalu kuraih. Kini, kukira tak ada lagi orang yang merendahkan martabatku.
Tekadku bulat, sebulat dunia. Apapun syarat yang diajukan keluarga calon istri, pasti akan kupenuhi, terlebih sekarang aku sudah memiliki tambak ikan sendiri. Demi masa depanku, demi satu-satunya orang tuaku; Emak.
“Jadi, Nak Hasbi ini berniat melamar putri Bapak, Yusnia?”  calon mertua menanggapi niatku yang tulus. Aku mengangguk pasrah. Dari balik pintu kamarnya yang sejengkal terbuka, Yusnia mendengarkan penuh harap. Ibunya pula tertahan mendengarkan pembicaraan kami di balik tirai dapur sambil membawa sebaki penganan.
Asap rokok yang baru dihisapnya mengepul di sela-sela kumis tebalnya. Sambil membuang abu ke dalam asbak, beliau melanjutkan, “Bapak sih tidak begitu mempermasalahkan siapa yang  jadi suami putri Bapak nanti. Yang penting jujur, berpendidikan dan  bertanggungjawab,” perlahan aku mengiyakan. “cuma, dalam adat suku kami, Bugis, ada persyaratan yang mesti dipenuhi...”
Dahiku berlipat. Aku baru ingat kalau mereka keluarga dari Bone. Teringat perkataan kawanku dulu, waktu melamar pacarnya yang juga dari suku Bugis, mahal, katanya. Minimal harus ada uang dua puluh juta, baru diterima. Itu lima tahun yang lalu. Sekarang pasti naik harga. Dia mengurungkan niat karena tak bisa memenuhi syaratnya, meski harus meninggalkan pacarnya begitu saja dan menikah dengan janda tiga anak, tetangganya.
Huhhh... aku tahu, aku pasti mampu memenuhi syaratnya, dengan konsekuensi, dua pertiga penghasilanku habis. Itupun ditambah dengan sepetak tambak apabila dijual. Aku berfikir sejenak sambil menelan beberapa teguk minuman yang baru saja disediakan. Lalu dengan khusyuk kembali melanjutkan menyimak penerangan dari calon mertua.
“Nak Hasbi serius mau menikahi putri Bapak?” sekali lagi keseriusanku diuji.
“Insya Alloh, serius, Pak,” jawabku mantap. “saya tidak berani bermain-main dengan yang namanya pernikahan. Sekali seumur hidup, Pak.” imbuhku memastikan.
Calon mertua makin serius. Nampak dari alisnya yang merapat. Sejurus kemudian kumisnya naik, bibirnya menyunggingkan senyum yang nampak janggal di batinku.
“Saya senang melihat pemuda seperti Nak Hasbi: berani,” cetusnya. Ada nada aneh yang kutangkap dari pujiannya. “benar kata Nak Hasbi, menikah itu sekali seumur hidup. Filosofi ini juga yang digunakan oleh leluhur kami. Makanya, banyak hal yang mesti dipersiapkan, baik menjelang, ketika dan setelah pernikahan,” lanjutnya. Membuat keningku makin mengkilat.
Aku benar-benar awam tentang adat mereka. Entah bagaimana aku harus menjelaskan. Menurut pendapatku, mereka adalah pendatang di daerah ini, seharusnya mereka mengikuti istiadat setempat. Paling tidak menghargai pribumi sepertiku yang hendak menikahi putrinya, toh dia juga mau kunikahi. Kalau memang mereka datang kemari dengan niat merantau, alangkah baiknya ikut kebiasaan di perantauan. Bukankah pepatah mengatakan, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”? Di mana kita berada, disitu kita mengikuti adat istiadat setempat?
Lagi pula, di kampung ini biaya pernikahan tidak lebih dari mas kawin dan walimah sederhana saja. Paling banter ditambah dengan organ tunggal, itupun biaya sewanya tak seberapa. Bukankah lebih memudahkan kedua belah pihak? Tidak perlu ini-itu, persiapan berat atau ritual tetek bengek lainnya yang malah membangkrutkan? Kukira yang lebih penting adalah bagaimana hidup di masa depan. Punya anak dan lain sebagainya. Ah, kepalaku terlalu pening memikirkannya.
Tak lama kemudian calon Ibu mertua menyertai, duduk di samping calon Bapak mertua. Persis seperti Bapak Presiden dengan Ibu negara. Dari raut wajahnya kutahu, dia tak sabar menyaksikan perbincangan bertele-tele seperti yang kami peragakan. Sambil menawarkan makanan yang masih tertutup di dalam toples, diapun buka mulut, “Pada dasarnya ibu suka dengan Nak  Hasbi. Tapi ibu khawatir...”
“Khawatir kenapa, Bu?” selaku sambil menatap tajam muka wanita yang menurut dugaanku lebih muda lima tahun dari Emak ini.
Gini lo, Nak Hasbi. Kamu tahu kan, bagaimana pemuda kampung sini?...” dia balas bertanya. Aku merapatkan alis ke mata.
“Hmm, gimana ngejelasinnya ya...” ujarnya tidak jelas. Sambil menggigit bibir bawahnya, matanya nampak berputar-putar, seperti mencari-cari sesuatu. Sedangkan tangannya mencubit paha suaminya, sehingga ada aroma canggung di antara  kami.
Melihatnya, aku tersadarkan. Kucoba mengurai benang yang mulai kusut ini. Kuperbaiki posisi duduk agar bisa terlihat leluasa di hadapan mereka. Kupandangi mereka dengan seksama, seperti aku memandang kawan yang butuh penjelasan. Ya, memang harus kujelaskan!
“Ibu dan Bapak tidak usah ragu. Katakan saja apa yang seharusnya dikatakan. Saya pasti berlapang dada menerima apapun kehendak Anda berdua. Saya datang ke sini hanya berikhtiar, tak pernah sedikitpun terbesit dalam hati untuk memaksakan, meski saya mencintai putri Bapak dan Ibu apa adanya. Kalau diterima, saya akan bersyukur kepada Yang Maha Pengasih, berarti jodoh saya di sini. Tapi jika ternyata tidak, saya akan bersabar. Semoga Dia menjaga saya dari perbuatan yang dimurkai-Nya.” kujabarkan dengan setengah memutuskan, karena aku tahu arah pembicaraan mereka.
Dada mereka nampak naik dan sejurus kemudian turun bersamaan. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut mereka selain mata yang tercenung saling memandang. Aku tak perlu menunggu keputusan. Aku pamit bersamaan dengan laungan azan yang mengajakku untuk kembali bercumbu dengan Sang Pemilik Takdir. Rupanya waktu kebersamaanku dengan-Nya akan bertambah tanpa gangguan orang lain. Walau dalam hati aku mempersoalkan ketidaksanggupanku untuk hanya bercumbu dengan-Nya saja. Aku juga punya birahi, punya keinginan, punya sesuatu yang...
Ah!!!...
Meski berat, bagiku tidak mengapa. Aku mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Paling tidak, aku telah menyampaikan kepada mereka bahwa di kampung ini masih ada pria setangguh diriku.
***     



Bandung, 24 januari 2012


                       
















                                               






Tidak ada komentar:

Posting Komentar