“Memilih
Takdir Setengah Hati”
Ditulis oleh: Haris Abdullah
Yusnia,
wanita yang tengah kukejar ini begitu menggoda. Matanya, hidungnya, oval
mukanya sungguh tak bisa kuhilangkan dalam list
jodohku. Melihatnya, seperti bidadari, meskipun sebetulnya tak ada satupun
orang yang bisa menggambarkan secara pasti kejelitaannya. Paling tidak,
menurutku memang dia wanita yang paling cantik.
Di
persimpangan jalan, kutunggu dia. Setiap Senin hingga Jumat biasanya dia baru
pulang dari pekerjaannya sebagai guru SMA pukul lima. Maklum, jika pagi—yang
aku tahu—dia mengajar les privat di salah satu tempat kursus di Alun-alun kota.
Biasanya pulang sendiri dengan menaiki motor otomatisnya yang berwarna merah
muda. Allamak, coba tengok: tubuhnya yang semampai selaras dengan jalannya yang
lenggak-lenggok seperti model di atas catwalk.
Aduhai... hatiku cenat-cenut!
Kupandangi
dia tanpa berkedip, kuperhatikan dengan seksama. Jantungku makin keras berdebar
mengantarnya hingga hilang dari pandangan ditelan oleh kendaraan yang berebut
jalan. Aku puas meskipun kembali kubatalkan untuk membuka perkenalan dengannya—untuk
kesekian kalinya.
Kukayuh
sepeda ontelku merasuk diantara kendaraan-kendaraan bermesin yang berebut
jalan, menyusun rencana berikutnya.
***
“Mak,
saya mau nikah,” kubuka pembicaraan dengan Emak di dalam kamarnya. Biasanya
selepas Shubuh, beliau masih duduk di atas kasur menyelesaikan hitungan tasbih
yang masih tertunggak. Emak menghentikan dzikirnya, memandang tepat ke wajahku.
“Wanita mana lagi yang mau Hasbi tawarkan sama Emak?” ujarnya sambil membelai
rambutku, persis seperti waktu kecil dulu.
“Ada,
Mak. Cantik, dan kelihatannya sholehah,” kataku seraya menyandarkan diri di
pangkuannya.
Emak
mendesah dan menghentikan belaiannya, “Kamu yakin dia sholehah?”
Aku
mengangguk pelan.
“Nak,
kalau Emak terserah kamu saja. Tapi cari yang bisa menerima kita apa adanya.
Jangan hanya menuruti hawa nafsu saja,” nasehatnya. Memang, beberapa kali
kutawarkan gadis kepada Emak, semuanya mengecewakan: pertama, Dena. Wanita
periang yang kukira baik hati, tapi kenyataannya dia telah menyakiti. Waktu
itu, dia sedang dibonceng seorang pria di jalan menuju pasar. Setelah diselidiki,
ternyata pacarnya. Akupun mundur.
Setengah
tahun kemudian, Wanda, gadis seberang. Beberapa kali kuajak ke rumah supaya
akrab dengan Emak hingga beliau menyukainya. Sudah beberapa kali juga aku ke
kontrakannya, mengakrabi ibunya yang sudah tua bahkan aku sudah dianggapnya
anak sendiri. Sayang, beberapa hari lagi aku mau melamarnya, dia dibawa pulang
paksa kakaknya karena mau dinikahkan dengan pedagang kaya di sana.
Yang
paling tragis adalah ketika di pesantren setahun kemudian. Berniat menuntut
ilmu, malah disukai oleh putri bungsu Pak Kyai: Nur ‘Alimah. Belum genap
sebulan berkenalan, kakak perempuannya menyuruhku menikahinya karena usianya
yang hampir dua puluh delapan tahun, lebih tua dua tahun denganku. Katanya,
setiap malam selalu membicarakanku, menyatakan kesukaannya padaku. Akupun membicarakan
hal ini dengan Emak, “Sangat membanggakan punya besan Kyai dan menantu yang
hafal Qur’an,” katanya. Semangat terpecut, aku menindaklanjuti hasrat baik itu.
Kuungkapkan niatku pada Pak Kyai, beliaupun merestui. Sebulan kucari tambahan
di samping jualan ikan di pasar. Biaya terkumpul, setidaknya cukup untuk mas
kawin dengan walimah kecil-kecilan.
Namun
harapan itu sirna. Manakala aku sudah jatuh cinta padanya disaat pertama kali
kulihat wajah ayu di balik cadar ketika ta’aruf,
tak lama setelahnya Pak Kyai wafat. Tahta perwalian jatuh ke tangan kakak
pertamanya yang menjadi pensyarah di
negeri jiran. Dia telah menyediakan calon suami untuknya: seorang ustadz muda
keturunan Arab dari Singapura, anak seorang pengusaha minyak. Nur ‘Alimah
menolak dengan alasan sudah ada calon yang dipilih Abahnya: Aku. Tapi kakaknya
berkeras menjodohkannya dengan ustadz kaya itu, alasannya, dia tidak
menyaksikan pernyataan Pak Kyai ketika itu. Percekcokanpun terjadi, akhirnya
diambil jalan tengah: uji kelayakan. Aku menyerah dengan berat hati.
Kapasitasku yang hanya setahun berguru tak sebanding dengan seorang ustadz yang
telah malang melintang belasan tahun di bidangnya.
Emak
sering mengurung diri semenjak itu, dan akupun mengalami trauma yang cukup panjang.
Kini, setelah tiga tahun berlalu aku mencobanya lagi, agar Emak tak lagi
murung. Berat rasanya melihat Emak setiap malam menangisi kesendirianku: dalam
doa, dalam sujud, dalam hati...
***
Semua
ikan habis terjual. Keuntungan besar terbayang dalam benak. Sudah saatnya aku jalankan
dengan matang rencana itu. Empat tahun menata hati yang pecah, pelan-pelan tersusun
kembali. Selama itu pula kukumpulkan uang agar ada pengganti sepedaku yang sering
putus rantai dengan ontel bermesin yang lebih kokoh, sekarang sudah kumiliki.
Gelar sarjana sebulan lalu kuraih. Kini, kukira tak ada lagi orang yang
merendahkan martabatku.
Tekadku
bulat, sebulat dunia. Apapun syarat yang diajukan keluarga calon istri, pasti
akan kupenuhi, terlebih sekarang aku sudah memiliki tambak ikan sendiri. Demi
masa depanku, demi satu-satunya orang tuaku; Emak.
“Jadi,
Nak Hasbi ini berniat melamar putri Bapak, Yusnia?” calon mertua menanggapi niatku yang tulus. Aku
mengangguk pasrah. Dari balik pintu kamarnya yang sejengkal terbuka, Yusnia
mendengarkan penuh harap. Ibunya pula tertahan mendengarkan pembicaraan kami di
balik tirai dapur sambil membawa sebaki penganan.
Asap
rokok yang baru dihisapnya mengepul di sela-sela kumis tebalnya. Sambil
membuang abu ke dalam asbak, beliau melanjutkan, “Bapak sih tidak begitu mempermasalahkan siapa yang jadi suami putri Bapak nanti. Yang penting
jujur, berpendidikan dan
bertanggungjawab,” perlahan aku mengiyakan. “cuma, dalam adat suku kami,
Bugis, ada persyaratan yang mesti dipenuhi...”
Dahiku
berlipat. Aku baru ingat kalau mereka keluarga dari Bone. Teringat perkataan
kawanku dulu, waktu melamar pacarnya yang juga dari suku Bugis, mahal, katanya. Minimal harus ada uang
dua puluh juta, baru diterima. Itu lima tahun yang lalu. Sekarang pasti naik
harga. Dia mengurungkan niat karena tak bisa memenuhi syaratnya, meski harus
meninggalkan pacarnya begitu saja dan menikah dengan janda tiga anak,
tetangganya.
Huhhh...
aku tahu, aku pasti mampu memenuhi syaratnya, dengan konsekuensi, dua pertiga
penghasilanku habis. Itupun ditambah dengan sepetak tambak apabila dijual. Aku
berfikir sejenak sambil menelan beberapa teguk minuman yang baru saja
disediakan. Lalu dengan khusyuk kembali melanjutkan menyimak penerangan dari
calon mertua.
“Nak
Hasbi serius mau menikahi putri Bapak?” sekali lagi keseriusanku diuji.
“Insya
Alloh, serius, Pak,” jawabku mantap. “saya tidak berani bermain-main dengan
yang namanya pernikahan. Sekali seumur hidup, Pak.” imbuhku memastikan.
Calon
mertua makin serius. Nampak dari alisnya yang merapat. Sejurus kemudian
kumisnya naik, bibirnya menyunggingkan senyum yang nampak janggal di batinku.
“Saya
senang melihat pemuda seperti Nak Hasbi: berani,” cetusnya. Ada nada aneh yang
kutangkap dari pujiannya. “benar kata Nak Hasbi, menikah itu sekali seumur
hidup. Filosofi ini juga yang digunakan oleh leluhur kami. Makanya, banyak hal
yang mesti dipersiapkan, baik menjelang, ketika dan setelah pernikahan,”
lanjutnya. Membuat keningku makin mengkilat.
Aku
benar-benar awam tentang adat mereka. Entah bagaimana aku harus menjelaskan.
Menurut pendapatku, mereka adalah pendatang di daerah ini, seharusnya mereka
mengikuti istiadat setempat. Paling tidak menghargai pribumi sepertiku yang
hendak menikahi putrinya, toh dia
juga mau kunikahi. Kalau memang mereka datang kemari dengan niat merantau,
alangkah baiknya ikut kebiasaan di perantauan. Bukankah pepatah mengatakan, “Di
mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”? Di mana kita berada, disitu kita
mengikuti adat istiadat setempat?
Lagi
pula, di kampung ini biaya pernikahan tidak lebih dari mas kawin dan walimah
sederhana saja. Paling banter ditambah dengan organ tunggal, itupun biaya
sewanya tak seberapa. Bukankah lebih memudahkan kedua belah pihak? Tidak perlu
ini-itu, persiapan berat atau ritual tetek bengek lainnya yang malah
membangkrutkan? Kukira yang lebih penting adalah bagaimana hidup di masa depan.
Punya anak dan lain sebagainya. Ah, kepalaku terlalu pening memikirkannya.
Tak
lama kemudian calon Ibu mertua menyertai, duduk di samping calon Bapak mertua.
Persis seperti Bapak Presiden dengan Ibu negara. Dari raut wajahnya kutahu, dia
tak sabar menyaksikan perbincangan bertele-tele seperti yang kami peragakan.
Sambil menawarkan makanan yang masih tertutup di dalam toples, diapun buka
mulut, “Pada dasarnya ibu suka dengan Nak
Hasbi. Tapi ibu khawatir...”
“Khawatir
kenapa, Bu?” selaku sambil menatap tajam muka wanita yang menurut dugaanku
lebih muda lima tahun dari Emak ini.
“Gini lo, Nak Hasbi. Kamu tahu kan, bagaimana pemuda kampung sini?...”
dia balas bertanya. Aku merapatkan alis ke mata.
“Hmm,
gimana ngejelasinnya ya...” ujarnya tidak jelas. Sambil menggigit bibir
bawahnya, matanya nampak berputar-putar, seperti mencari-cari sesuatu.
Sedangkan tangannya mencubit paha suaminya, sehingga ada aroma canggung di
antara kami.
Melihatnya,
aku tersadarkan. Kucoba mengurai benang yang mulai kusut ini. Kuperbaiki posisi
duduk agar bisa terlihat leluasa di hadapan mereka. Kupandangi mereka dengan
seksama, seperti aku memandang kawan yang butuh penjelasan. Ya, memang harus
kujelaskan!
“Ibu
dan Bapak tidak usah ragu. Katakan saja apa yang seharusnya dikatakan. Saya pasti
berlapang dada menerima apapun kehendak Anda berdua. Saya datang ke sini hanya berikhtiar,
tak pernah sedikitpun terbesit dalam hati untuk memaksakan, meski saya
mencintai putri Bapak dan Ibu apa adanya. Kalau diterima, saya akan bersyukur
kepada Yang Maha Pengasih, berarti jodoh saya di sini. Tapi jika ternyata
tidak, saya akan bersabar. Semoga Dia menjaga saya dari perbuatan yang
dimurkai-Nya.” kujabarkan dengan setengah memutuskan, karena aku tahu arah
pembicaraan mereka.
Dada
mereka nampak naik dan sejurus kemudian turun bersamaan. Tak ada sepatah
katapun keluar dari mulut mereka selain mata yang tercenung saling memandang.
Aku tak perlu menunggu keputusan. Aku pamit bersamaan dengan laungan azan yang
mengajakku untuk kembali bercumbu dengan Sang Pemilik Takdir. Rupanya waktu
kebersamaanku dengan-Nya akan bertambah tanpa gangguan orang lain. Walau dalam
hati aku mempersoalkan ketidaksanggupanku untuk hanya bercumbu dengan-Nya saja.
Aku juga punya birahi, punya keinginan, punya sesuatu yang...
Ah!!!...
Meski
berat, bagiku tidak mengapa. Aku mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Paling
tidak, aku telah menyampaikan kepada mereka bahwa di kampung ini masih ada pria
setangguh diriku.
***
Bandung,
24 januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar