“Bintang
di Balik Angsana”
Jika
kau ke kampungku, kau akan mendapati hamparan sawah seperti karpet di hotel
bintang lima yang luas berteras-teras. Di antaranya pula kau bisa melihat,
betapa dedaunan mini dan rumput ilalang asyik di bawah naungan pohon angsana
dan albasia yang dipenggal oleh jalan kecoklatan yang apabila disirami panas
mentari matamu akan silau dibuatnya.
Di
sebelah kanan, kau tidak akan melihat apa-apa, karena di sana gunung
berkerumun, membentuk tubuh yang saling melindungi. Tapi sebelah kirinya lain.
Di situ gunung Mesjid berdiri, sedangkan di bawah lututnya bersembunyi gua
Dapur tempat manusia pra sejarah menyimpan hasil panen mereka. Lalu di sebelah
sebelumnya darimu, sekumpulan batu berbaris rapi hingga pinggir jalan menuju
Balekambang, namanya Cadas Juragan.
Sedangkan
aku memandang tiap petang, menanti mentari turun tahta sambil memandang ke arah
yang aku bicarakan tadi dari atas bukit yang hampir runtuh. Dari sini, aku
memperhatikan seorang anak mengikuti jejak bapaknya menjadi seorang kuli batu. Ya,
kuli batu kapur.
Dari
sini pula, aku melihat dengan mata sayu, seorang pemuda mengangkat batu seberat
separuh tubuhnya lalu mengangkutnya ke dalam truk tua yang mereka panggil “Biawak”.
Entah dari mana asal nama itu, dari penampilannya sedikitpun tak ada kemiripan
dengan binatang itu. Ah... aku tak pernah bertanya tentangnya. Cuma aku pernah
mendengar obrolan di antara para pekerja, mereka pernah bilang bahwa nama itu
hanya pemiliknya yang pertama yang tahu. Sedangkan dia sudah tiada.
Lalu
tak jauh dari pemuda itu, sedang asyik seorang ibu menyertai anak dan suaminya
di antara bebatuan, menyisihkan kerikil serpihan batu yang dipukul tepat pada
uratnya, lalu dikumpulkan dan ditimbang. Melupakan fitrah keibuannya.
Akupun
sama: menjadi pemecah batu. Tepat seminggu setelah aku lulus sekolah, empat
tahun lalu.
***
Angin
selalu menghembus kencang apabila pagi menyapa. Terkadang mulutku mengumpat
karena tak kuat menahan dingin yang menusuk tulang. Ini pertanda buruk bagiku,
bagi anak yang ikut bapaknya, pemuda dan seorang ibu yang mendampingi suaminya.
Angin ini kerontang, tak banyak membawa kehidupan. Melayukan tanaman,
menghempaskan dahan-dahan bahkan mengangkut akar pohon hingga tercabut tanpa
sisa. Apabila bekerja, setelahnya akan merasakan nyeri yang luar biasa pada
persendian.
“Angin
kemarau,” baru kali ini si Anak membuka pendapat. Aku tersenyum kecut: anak karbitan! Tapi aku sependapat,
pasalnya hujan sudah hampir di penghujungnya. Biasanya, menjelang kemarau angin
bertiup lebih kencang dua kali dari biasanya.
“Bukan,
ini angin bala’,” timpal pemuda yang
setia memikul martil seberat enam kilogram—kakaknya—sambil jahil tangannya
menjitak kepala si Anak yang membalas dengan pukulan kecil di paha kakaknya.
Aku melengos: sok tahu...
Kenapa
si Bapak tak buka mulut? Amatku setengah mati.
Di
matanya terlihat, dia sedang memperhatikan si Anak dan pemuda yang berdiri
gagah di hadapannya. Di pipinya nampak geraham saling beradu. Sesekali dia
memperhatikan anak dan pemuda itu, sesekali juga melirik ke arah istrinya.
Mungkin dia sedang memandang istrinya dengan perasaan iba. Bagaimana tidak?
Pagi buta, sebelum matahari muncul sudah menyiapkan makanan, siangnya
membantunya bekerja, malamnya—tentu kalau tak terlalu lelah—melayaninya. Hah... tak sampai aku merasakannya.
Ada
cekungan kelabu di kelopak matanya. Mungkin dia akan menyerah kali ini. Sebab,
di siang hari puluhan ton batu terbelah di tangannya, sedangkan ketika malam,
lumpur sawah tak pula luput dipijaknya memburu lindung yang keluar mencari
makan. Kuajukan pertanyaan agar lebih jelas keadaannya.
“Capek,
Pak?”
“Tidak,”
jawabnya ringkas—pasti bohong. Tidak membuatku puas.
“Kenapa
tak berhenti saja?” kupertajam persoalan, siapa tahu pancinganku tersangkut.
Kutahu, telah seumur pemuda itu dia bergelut dengan batu. Seharusnya ada yang
tersimpan dalam tabungannya, paling tidak di usianya kini dia sudah merasakan
nikmatnya jerih payah selama bertahun-tahun memecahkan batu.
“Belum
niat,” katanya. Lagi-lagi hatiku hampa dibuatnya, barangkali di lain waktu.
Mungkin hatinya sudah keras seperti batu yang sehari-hari menjadi bagian
hidupnya.
Kutunggu
sampai angin reda...
“Kau?”
tanyanya tiba-tiba menyambut penantianku.
Aku
terhenyak, “Apa?”
“Ya,
bagaimana dengan kau?”
“Saya?”
tanyaku balik. Dia mengangguk secepat kilat.
“Ada
banyak hal yang tertinggal selama saya bekerja. Mungkin...” jawabku bimbang.
“Kenapa?” cecarnya lagi membuatku gerah.
“Oh,
kalau saya... sepertinya gak lama lagi berhenti.” berbagai lipatan di wajah
merubah ekspresiku. Aku sadar, si Bapak pasti heran dengan sikapku yang seperti
ini. Kuraih martil yang sedari tadi berada di bawah kakiku.
“Sepertinya
si Bos sudah datang. Nanti kita lanjutkan,” aku mengelak sekuat tenaga,
menjauhi prasangka yang pasti berputar-putar di benaknya. Si Bapak menyetujui
meski memandangku dengan tatapan sangar. Memikul martil miliknya sebagaimana
aku memikul martil milikku beranjak menuju Biawak yang menanti untuk disuapi.
Batu
yang ada di hadapanku merupakan bagian dari bukit yang kuinjak kemarin. Ada
banyak bekas tikaman benda tajam di tubuhnya. Nampaknya pertahanannya roboh
dihujani pukulan beko toktrok tiga
hari terakhir. Apalagi kemarin sore, sejam setelah aku berdiri mematung di sana,
tiga dentuman terdengar begitu menggema—dibom. Menghancurkan sebagian kecil
bukit yang tinggal setengah. Tadinya aku membayangkan, betapa manfaat akan
banyak didapatkan dari hasil pengolahan batu kapur yang diledakkan ini. Tapi...
Si
Anak menghampiriku, menghentikan pekerjaanku sejenak. Di raut mukanya ada gurat
kesedihan.
“Kenapa?”
tanyaku kasihan. Merah di mukanya tak bisa dibendung. Di kedua sudut matanya
mengalir butiran air—menangis. Hatiku ikut menangis.
“Kakakmu
nakal?” soalku lagi. Dia menggeleng sambil sebelah lengannya menyeka pipinya.
Kubantu dia menyeka pipi sebelahnya. Aku menganggapnya adik sendiri, terlebih
karena ketiga adikku lama tak tinggal bersamaku. Walau sebetulnya aku sering
dibuatnya layaknya seorang pemuda yang bodoh. Tapi aku salut, meski tak lagi
sekolah dia masih nampak semangat untuk belajar.
“Abah...”
jawabnya lirih seperti ada sesuatu yang mengganjal rongga mulutnya.
“Kenapa
dengan Abahmu?”
“Uang
tabungan saya dihabiskan Abah,” katanya mengadu.
“Untuk
apa?” telitiku kemudian.
“Aaa...!”
jawabnya berteriak penuh kesal, mengundang perhatian semua orang.
***
Sudah
empat hari ini si Anak tak ikut bapaknya. Hatiku sungguh merindukannya.
Berbagai dugaan menggelayuti fikiranku: sakitkah? Atau kemana? Entah mengapa,
selama itu pula aku enggan menanyakan keadaannya pada si Bapak. Padahal tak
sampai sepuluh meter aku dengannya. Tapi kali ini aku akan coba menanyakan. Nanti,
setelah pekerjaan hari ini selesai...
Sepuluh
ton telah terkumpul: satu biawak lebih sedikit. Sore ini langit tak bersahabat,
nampak berkabung di sana. Sejurus kemudian, benih-benih hujan menyapa dan tak
lama menyerbu. Aku segera menghentikan pekerjaan dan mengemas perkakas yang
biasa kubawa. Warung Bu Ira kutuju dengan tergesa, menghindari hujan yang kian
membesar, sambil memesan segelas kopi dan sebatang keretek aku berteduh bersama
beberapa pekerja yang lain yang juga memesan menu yang sama.
Langit
beranjak menuju titik terkelam, tak ada sedikitpun cahaya nampak di atas sana.
Sedangkan hujan makin riuh terdengar. Kuperhatikan sekeliling. Batinku terpaku,
ada yang luput dalam ingatanku: si Bapak telah pulang.
Dengan
pasrah aku mengurungkan niat untuk menanyakan si Anak itu padanya.
***
Siang
ini aku ijin pada Bos untuk berhenti. Siang ini pula aku tak melihat si Anak dengan
bapaknya. Hanya pemuda itu yang masih bekerja dengan ibunya yang nampak muram.
Aku diberinya gaji sebanyak lima puluh ton yang seharusnya tunai enam puluh
ton. Yang sepuluh ton lagi potongan, katanya. Aku ikhlas, inilah rejekiku.
Aku
sudah merencanakannya sejak lama, aku ingin kuliah. Kukhususkan waktuku kali
ini untuk menanyakan kabar si Anak langsung ke rumahnya yang agak jauh dari
pertambangan. Melewati satu kampung di belakang bukit Asar tepat di kaki gunung
Mesjid.
Dari
bawah gapura desa, kulihat si Bapak duduk termenung seorang diri di bawah pohon
angsana di depan rumahnya yang beratap daun kelapa, berdinding bilik bambu
beralaskan tanah. Sambil duduk bersila menghisap sebatang keretek, matanya
nanar entah tujuan. Kudekati perlahan karena takut mengejutkannya. Aku duduk di
dekatnya, sepertinya dia tak menyadari kehadiranku. Kusapa dia hati-hati,
“Apa
kabar, Pak?”
“Eh,
Hasby?” jawabnya. Benar dugaanku, dia terkejut. Rokok yang dihisap asapnya menghembus
wajahku. Sejenak dia merapikan duduknya dan memfokuskan diri kepadaku.
“Gak kerja, Pak?” tanyaku kemudian. Dia
menggeleng sambil membuang muka.
“Si
Bungsu kemana?” aku mengawali maksud utamaku: menanyakan si Anak.
“Ada,
di kamar,” jawabnya seperti kebiasaannya—singkat.
“Sakit?”
tanyaku lagi.
Si
Bapak bungkam.
“Terakhir
ketemu sepertinya dia sedang sedih. Memangnya kenapa, Pak?”
Mendengar
pertanyaanku yang satu ini, matanya berputar-putar seperti mencari sesuatu yang
hilang. Jari tengahnya memetik abu rokok ke dalam asbak yang dipenuhi puluhan batang
yang tidak habis dihisap. Dadanya bangkit dan tak lama setelahnya turun. Jelas
tercium dari mulutnya bau yang menyengat.
“Kenapa
kamu tanya seperti itu?” kilahnya dengan mata merah menyala.
“Si
Bungsu pernah bilang, katanya dia mau sekolah lagi.” jelasku meluruskan
maksudku yang kukira tak salah.
“Ya!
Tapi, mana boleh?”
“Lho, kenapa?”
“Kenapa
lagi, kenapa lagi. Memangnya gak ada
pertanyaan lain selain, ‘kenapa’?” selanya dengan nada meninggi. Aku maklum,
memang sudah wataknya demikian. “Si Bungsu itu sudah keterlaluan! Bapaknya lagi
kepayahan dia malah minta yang nggak-nggak.”
lanjutnya seraya menunjuk pintu rumahnya.
“Memangnya
minta apa?”
“Dia
minta ikut kakaknya ke kota. Mana boleh begitu?” ujarnya sambil beranjak
meninggalkanku begitu saja, menghilang di antara belukar beruntas yang tumbuh
tak tertata.
Tak
lama kemudian datang seorang wanita, tetangga si Bapak. Sambil melirik
kanan-kiri dia berbisik dekat telingaku, “Si Bapak semalam memukuli si Bungsu.”
katanya.
Seperti
tersambar geledek, aku terperanjat luar biasa. Segera kutinggalkan wanita itu
lalu masuk ke dalam rumah yang pintunya tak pernah dikunci. Kucari kamar yang
dimaksud si Bapak tadi. Setelah sekali salah masuk, akhirnya aku temukan sebuah
balai kecil yang terbuat dari papan kayu tertutup selembar gordin lusuh biru
tua yang sudah pudar, di atasnya bertumpuk puluhan pakaian yang tak sempat
dilipat, mungkin baru kering. Di salah satu tiang kulihat foto si Anak sedang berdiri
di depan rak buku yang berderet rapi sambil mengangkat piala: Juara I Lomba Sains
Internasional Se-Asia Tenggara di Jakarta Tingkat SD.
Lalu,
ada gerakkan kecil di sana: di antara tumpukan baju. Kuyakin itu si Anak.
Kusisihkan satu per satu pakaian itu, kubuka dan...
“Bungsu!”
Kulihat
si Anak di sana, sedang berjuang melepaskan diri dari kain yang mengikat tangan
dan kakinya sementara mulutnya disumpal handuk kecil. Segera kubebaskan dia
lalu kududukkan perlahan di atas pangkuanku. Di badan dan mukanya ada bekas
pukulan. Benar kata wanita itu,
gumamku geram.
“Kamu
tidak apa-apa?” tanyaku meyakinkan keselamatannya.
Dia
mengangguk ragu sambil mengambil lalu memeluk sebuah buku bersampul merah yang
tersembunyi di balik bantal. Pasti dia sudah kehabisan air mata. Pipinya
cekung, ada lingkaran hitam membengkak di antara kelopak matanya.
“Ahhh...”
suaranya serak tertahan.
“Kenapa
kamu bisa seperti ini?”
Dia
terisak. Tak menjawab.
“Kamu
mau ke tempat kakakmu di kota?”
Dia
mengangguk lalu menggeleng. Lho?
“Lalu?”
Dia
masih terisak: diam.
“Kamu
minta apa sama Bapakmu?” cecarku tak henti agar aku tahu alasan si Bapak
menganiaya anaknya setega ini.
Dia
masih tak menjawab.
“Kamu
minta mainan?”
“Gak,” ujarnya hampir tak terdengar.
Akhirnya dia bersuara.
“Makanan
mahal?”
Lagi-lagi
dia menyanggah.
“Lalu
kenapa? Kata Bapakmu, kamu minta yang nggak-nggak,
apa?” cecarku penuh amarah. “Kalau kamu perlu apa-apa, bilang saja sama Akang,
jangan sama bapakmu. Yuk, bilang, mau apa?” bujukku menentramkan hatinya.
Matanya
berkaca terus mengalirkan airnya. Aku tahu ini akan menjadi masalah bagiku bila
aku turut campur di dalamnya. Tapi hal seperti ini tidak bisa di biarkan. Ini
kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan, bisa diancam pidana berat. Apalagi
korbannya adalah anak-anak di bawah umur. Perlahan kududukkan si Anak supaya
jelas menghadapku. Sedikit menggoncang-goncangkan tubuhnya mungkin akan membuka
mulutnya.
Setelah
beberapa kali mengusap air matanya si Anak menyerahkan buku yang digenggamnya
padaku. Kubalikkan sampulnya, ternyata buku raport. Tertera di halaman muka:
Yusman Irawan.
“Ini
punyamu?”
Dia
mengiyakan.
Fantastis!
Ini yang keluar dari mulutku. Begitu kubuka lembaran-lembaran hasil belajar, nilainya
rata-rata sembilan! Bulu kudukku berdiri semua, takjub setengah mati. Hatiku
gerimis dibuatnya. Seorang anak kuli batu yang hebat. Ternyata ini yang ditangisinya selama ini:
mengejar prestasi. Seperti ada sebiji batu yang menghalangi tenggorokanku. Aku
sungguh terharu sekaligus prihatin.
Sambil
menggamit tanganku, si Anak berkata,
“Saya
cuma minta seragam sekolah, Kang...”
***
Senin, 30 Januari 2012