Kamis, 10 Mei 2012

Sepatu Harapan Untuk Pak Dahlan


          Sepatu Harapan
Oleh: Haris Abdullah
Menjadi pesepakbola handal adalah mimpi hampir setiap anak lelaki. Termasuk aku. PerDam-FC, adalah klub kebanggaan kampung kami. Klub berumur sebulan yang terbentuk oleh impian anak-anak. Klub yang memiliki dua belas pemain, tanpa pelatih bahkan lapangan. Lahan satu-satunya yang terletak di tengah-tengah kampung sungguh serbaguna. Pagi setelah subuh, biasanya ibu-ibu muda bermain bulutangkis, sedangkan kami, dapat jatah siang atau sore. Dan kami memanfaatkannya dengan baik.
Aku lupa jadwal pertandingan waktu itu, seingatku setelah lebaran baru digelar, tahun 1995, dan aku masih duduk di kelas empat SD. Dengan semangat darah anak-anak, kami berlatih tanpa kenal waktu. Terlebih selama Ramadhan seluruh sekolah diliburkan, maka selepas subuhpun kami berlatih karena ibu-ibu cuti bermain. Beberapa hari kemudian, kami kedatangan “lawan” yang mengajak kami latih-tanding. Sungguh, semangat kami tak terkirakan waktu itu. Kami menyepakatinya.
Saat pertandingan kecil itu digelar, lawan menertawakan kami. Ya, kami akui, tertawaan itu wajar kami dapatkan. Betapa tidak? Tak satupun diantara kami yang memakai sepatu bola: ceker ayam! Tapi kami tak gentar, meski lawan terkenal bagus kami gigih memberikan perlawanan. Skor 0-1 untuk kemenangan kami. Inilah pertandingan perdana dalam sejarah PerDam-FC.
Melihat perjuangan kami, pak RT memberikan respon positif. Beliau memberikan lahan itu buat kami sepenuhnya dan membantu kami membayarkan uang pendaftaran ikut pertandingan termasuk merekrut seorang pelatih dari salah satu SSB di Kota Bandung, Pak Teja. Sekali lagi, kami buat beliau kagum. Namun satu syarat yang menyebabkan kami harus ekstra berkorban: sepatu. Kami sangat menginginkannya, tapi sayang, rata-rata kehidupan kami tidak mendukung.
Satu celah harapan terbentang: lebaran. Ya, hanya lebaran yang beri kami hadiah. Selemah apapun kondisi ekonomi, bila menjelang lebaran, tak ada satupun orangtua yang tega membiarkan anaknya gigit jari tanpa pakaian baru. Maka, kamipun bekerja ala anak-anak PerDam-FC...
Juan Pratama, striker utama kami, pembobol gawang lawan di pertandingan pertama, menangis meraung-raung pada ayahnya. Wawan, pemain sayap kiri ini memilih menghantarkan makan sahur untuk ibunya yang bekerja di pabrik, menurutnya itu cara paling ampuh untuk meluluhkan kepelitan ibunya. Ujang Gaok, pengatur serangan ini lain kisah, dia menjadi kuli bangunan ikut pamannya, dengan harapan dapat THR. Berbeda dengan Deden, bek tengah ini memang sudah dapat jatah dari bibinya yang berdagang di pasar. Sedangkan aku, kiper kebanggaan desa Pasawahan ini lebih suka ikut tetangga dagang ikan mas keliling, upah Rp.1500  perhari selalu aku simpan di saku kutang nenekku.
Alhasil, kami merayakan idul fitri di tengah lapangan...***
Sekitar dua minggu lebaran berlalu, pertandinganpun dimulai dengan menggunakan sistem gugur dan diikuti oleh 16 klub peserta dari penjuru kampung. Lapangan Desa Pasawahan jadi pilihan, luasnya hanya cukup untuk rotasi enam pemain. Nampak semua klub begitu antusias dan bersemangat, tak tertinggal pula PerDam-FC. Kami klub pertama yang bertanding waktu itu. Melawan klub tetangga, Angga Carang FC.
Pertandingan berlangsung 2X30 menit, alot dan melelahkan. Tapi kami selalu giat melawan hingga wasit meniup pluit panjang. Penonton bergemuruh ketika sepatu Juan Pratama diangkat dan kami membungkuk hormat. Kami menang!
Lima hari kemudian, di posisi delapan besar kami melawan klub Curug Candung (saya lupa nama klubnya), skor telak menjadi milik kami—4-0. Namun sayang, di pertandingan dua hari berikutnya kami mesti menyerah pada ketangguhan klub Karasak, yang menjadikan mereka kampiun masa itu.
Keesokan harinya setelah lelah melawan SSB tuan rumah untuk memperebutkan tempat ketiga serta menyaksikan pengumuman hasil pertandingan final, kami pulang dan berkumpul di rumah Pak RT yang sudah dikerumuni warga. Kami duduk melingkar menghadap ke arah meja bundar menatap sepatu-sepatu kami yang berjejer rapi mengawal sebuah benda bertuliskan, “Perbas Dalam Football Club, Juara Harapan I Pertandingan Sepakbola Piala SIPUR”.
“Juara Harapan”. Harapan yang selalu terpancar hingga kini, meski kami tak menjadi juara.
***


Senin, 23 April 2012

Syndrom Gigantisme bag. I


Setiap pertemuan tiga jam, selama delapan kali.
3 X 8 = 24...
24jam!
Artinya, sehari semalam...
Dalam sehari semalam perjumpaan, telah bermunculan berbagai hal diluar kesanggupan. Dalam sehari semalam, terjadi hal yang  siapapun tidak tahu. Lagipula siapa yang sanggup dan tahu?
Teringat, perputaran bumi pada porosnya; yang terjadi di dalamnya selama itu, baik-buruk, senyum-tangis, do’a-umpatan, hilang-tumbuh, sesal-bangga, keluar-masuk, benci-cinta dan sejuta tetek-bengek lainnya. Fuhhh, aku yakin, tak ada satupun manusia di muka bumi ini yang menyadarinya secara detail.
Aku, adalah ‘wayang’ di dalamnya, di atas kancah kehidupan yang digerakkan oleh tangan Yang Maha Menunjuk. Tangan mutlak yang tak mungkin bisa lari darinya. Hanya pasrah tanpa mampu menduga-duga, apa yang akan dilakukan-Nya padaku. Ragu? Tak ada yang kebetulan di dunia ini, kawan. Ragu adalah sifat yang mustahil kita jadikan alasan.
Perputaran itulah yang menjadikanku berputar, bahkan jungkir balik layaknya seorang akrobatik yang hanya tahu dua-tiga teknik. Yang masih kikuk bila harus menampilkan teknik lainnya. Meski kikuk, tetap harus ditampilkan. Tak peduli orang menertawakan, melongo dengan pandangan skeptik, menilai “dungu”, bodoh, tak layak, menjitak dari belakang, tepuk tangan seolah tangannya buntung, lari dari kemungkinan buruk penampilanku, bahkan mungkin berikrar tuk mengkudeta tempatku berdiri.
“Aku hanya wayang.”, jawabku untuk mereka dalam hati. Dia yang menggerakkanku. Dia yang mendesainku menjadi seorang yang hanya mampu menguasai dua-tiga gerakan. Dia pula yang menancapkan kakiku di hadapan kalian. Kalau mau protes, proteslah pada-Nya. Bila hendak mengumpat, dihadapan-Nya, jangan padaku. Sekali lagi, aku hanya sebongkah kayu yang diukir-Nya agar kalian me-tertawa-i, me-longo-i, me-bodoh-i, me-skeptik-i, me-jitak-i dan me-lain-lain-i.
Dan, kancah itu bernama, “Kreasi Akbar”. Kancah yang sama sekali asing, baik di telinga, lidah, pikiran, bahkan hati. Kancah ini terlalu terjal, bukan karena medannya naik-turun, berbelok-belok atau bergang-gang. Tapi lebih disebabkan oleh kaki yang belum lagi bisa melangkah. Bukan hanya itu, umurku terlalu dini buat menapakinya. Aku hanya bayi 24 jam. Yang baru bisa menangis dan melihat sehari-semalam. Apa yang bisa dilakukannya? Ya, hanya manangis dan menatap. Wajar kalau bayi ini ditertawakan bila dia memaksa melangkah, “Dasar bodoh, dungu. Wajar kalau kau dijitak!”.
Biar! Beri aku kesempatan. Beri aku waktu barang sebulan-dua. Maka lihatlah!
Aku, bukan sembarang bayi. Dalam tubuhku menjangkit satu keistimewaan: Syndrom Gigantisme. Syndrom yang kalian tak punyai. Aku mampu tumbuh tiga-bahkan lima kali lebih cepat dari kalian! Suatu saat kalian akan melihatku dengan muka mendongak, memaksa leher kalian patah dan merasakan nyeri di setiap buku tulang belakang. Dan aku akan melihat kalian dari hadapan. Mata kalian terbelalak, mulut kalian menganga dan hidung kalian akan mudah kemasukan air bila hujan turun. Ya beri aku waktu, dan kan kutepati nazarku.
Walau harus kuakui, sekarang bukan saatnya. Syndrom itu akan tumbuh alami, tapi aku tidak tahu kapan.
Yang hadir di hati hanya umpatan ikhlas, “Mengapa kalian menunjukku agar kalian tertawakan? Mengapa kalian mengatasnamakan cinta bersyarat untuk meluluhkan hatiku? Mengapa pula, dan mengapa?”. Kalau kalian bukan orang tua dan kakakku, niscaya aku akan memohon kepada Yang Maha Menunjuk agar menunjukmu menjadi diriku...

Menanti “Syndrom” itu tumbuh hingga H-5... (bersambung)



Jumat, 20 April 2012

Aku dan Jodoh



“Memilih Takdir Setengah Hati”
    Ditulis oleh: Haris Abdullah
Yusnia, wanita yang tengah kukejar ini begitu menggoda. Matanya, hidungnya, oval mukanya sungguh tak bisa kuhilangkan dalam list jodohku. Melihatnya, seperti bidadari, meskipun sebetulnya tak ada satupun orang yang bisa menggambarkan secara pasti kejelitaannya. Paling tidak, menurutku memang dia wanita yang paling cantik.
Di persimpangan jalan, kutunggu dia. Setiap Senin hingga Jumat biasanya dia baru pulang dari pekerjaannya sebagai guru SMA pukul lima. Maklum, jika pagi—yang aku tahu—dia mengajar les privat di salah satu tempat kursus di Alun-alun kota. Biasanya pulang sendiri dengan menaiki motor otomatisnya yang berwarna merah muda. Allamak, coba tengok: tubuhnya yang semampai selaras dengan jalannya yang lenggak-lenggok seperti model di atas catwalk. Aduhai... hatiku cenat-cenut!
Kupandangi dia tanpa berkedip, kuperhatikan dengan seksama. Jantungku makin keras berdebar mengantarnya hingga hilang dari pandangan ditelan oleh kendaraan yang berebut jalan. Aku puas meskipun kembali kubatalkan untuk membuka perkenalan dengannya—untuk kesekian kalinya.
Kukayuh sepeda ontelku merasuk diantara kendaraan-kendaraan bermesin yang berebut jalan, menyusun rencana berikutnya.
***
“Mak, saya mau nikah,” kubuka pembicaraan dengan Emak di dalam kamarnya. Biasanya selepas Shubuh, beliau masih duduk di atas kasur menyelesaikan hitungan tasbih yang masih tertunggak. Emak menghentikan dzikirnya, memandang tepat ke wajahku. “Wanita mana lagi yang mau Hasbi tawarkan sama Emak?” ujarnya sambil membelai rambutku, persis seperti waktu kecil dulu.
“Ada, Mak. Cantik, dan kelihatannya sholehah,” kataku seraya menyandarkan diri di pangkuannya.
Emak mendesah dan menghentikan belaiannya, “Kamu yakin dia sholehah?”
Aku mengangguk pelan.
“Nak, kalau Emak terserah kamu saja. Tapi cari yang bisa menerima kita apa adanya. Jangan hanya menuruti hawa nafsu saja,” nasehatnya. Memang, beberapa kali kutawarkan gadis kepada Emak, semuanya mengecewakan: pertama, Dena. Wanita periang yang kukira baik hati, tapi kenyataannya dia telah menyakiti. Waktu itu, dia sedang dibonceng seorang pria di jalan menuju pasar. Setelah diselidiki, ternyata pacarnya. Akupun mundur.
Setengah tahun kemudian, Wanda, gadis seberang. Beberapa kali kuajak ke rumah supaya akrab dengan Emak hingga beliau menyukainya. Sudah beberapa kali juga aku ke kontrakannya, mengakrabi ibunya yang sudah tua bahkan aku sudah dianggapnya anak sendiri. Sayang, beberapa hari lagi aku mau melamarnya, dia dibawa pulang paksa kakaknya karena mau dinikahkan dengan pedagang kaya di sana.
Yang paling tragis adalah ketika di pesantren setahun kemudian. Berniat menuntut ilmu, malah disukai oleh putri bungsu Pak Kyai: Nur ‘Alimah. Belum genap sebulan berkenalan, kakak perempuannya menyuruhku menikahinya karena usianya yang hampir dua puluh delapan tahun, lebih tua dua tahun denganku. Katanya, setiap malam selalu membicarakanku, menyatakan kesukaannya padaku. Akupun membicarakan hal ini dengan Emak, “Sangat membanggakan punya besan Kyai dan menantu yang hafal Qur’an,” katanya. Semangat terpecut, aku menindaklanjuti hasrat baik itu. Kuungkapkan niatku pada Pak Kyai, beliaupun merestui. Sebulan kucari tambahan di samping jualan ikan di pasar. Biaya terkumpul, setidaknya cukup untuk mas kawin dengan walimah kecil-kecilan.
Namun harapan itu sirna. Manakala aku sudah jatuh cinta padanya disaat pertama kali kulihat wajah ayu di balik cadar ketika ta’aruf, tak lama setelahnya Pak Kyai wafat. Tahta perwalian jatuh ke tangan kakak pertamanya yang menjadi pensyarah di negeri jiran. Dia telah menyediakan calon suami untuknya: seorang ustadz muda keturunan Arab dari Singapura, anak seorang pengusaha minyak. Nur ‘Alimah menolak dengan alasan sudah ada calon yang dipilih Abahnya: Aku. Tapi kakaknya berkeras menjodohkannya dengan ustadz kaya itu, alasannya, dia tidak menyaksikan pernyataan Pak Kyai ketika itu. Percekcokanpun terjadi, akhirnya diambil jalan tengah: uji kelayakan. Aku menyerah dengan berat hati. Kapasitasku yang hanya setahun berguru tak sebanding dengan seorang ustadz yang telah malang melintang belasan tahun di bidangnya.
Emak sering mengurung diri semenjak itu, dan akupun mengalami trauma yang cukup panjang. Kini, setelah tiga tahun berlalu aku mencobanya lagi, agar Emak tak lagi murung. Berat rasanya melihat Emak setiap malam menangisi kesendirianku: dalam doa, dalam sujud, dalam hati...
***

Semua ikan habis terjual. Keuntungan besar terbayang dalam benak. Sudah saatnya aku jalankan dengan matang rencana itu. Empat tahun menata hati yang pecah, pelan-pelan tersusun kembali. Selama itu pula kukumpulkan uang agar ada pengganti sepedaku yang sering putus rantai dengan ontel bermesin yang lebih kokoh, sekarang sudah kumiliki. Gelar sarjana sebulan lalu kuraih. Kini, kukira tak ada lagi orang yang merendahkan martabatku.
Tekadku bulat, sebulat dunia. Apapun syarat yang diajukan keluarga calon istri, pasti akan kupenuhi, terlebih sekarang aku sudah memiliki tambak ikan sendiri. Demi masa depanku, demi satu-satunya orang tuaku; Emak.
“Jadi, Nak Hasbi ini berniat melamar putri Bapak, Yusnia?”  calon mertua menanggapi niatku yang tulus. Aku mengangguk pasrah. Dari balik pintu kamarnya yang sejengkal terbuka, Yusnia mendengarkan penuh harap. Ibunya pula tertahan mendengarkan pembicaraan kami di balik tirai dapur sambil membawa sebaki penganan.
Asap rokok yang baru dihisapnya mengepul di sela-sela kumis tebalnya. Sambil membuang abu ke dalam asbak, beliau melanjutkan, “Bapak sih tidak begitu mempermasalahkan siapa yang  jadi suami putri Bapak nanti. Yang penting jujur, berpendidikan dan  bertanggungjawab,” perlahan aku mengiyakan. “cuma, dalam adat suku kami, Bugis, ada persyaratan yang mesti dipenuhi...”
Dahiku berlipat. Aku baru ingat kalau mereka keluarga dari Bone. Teringat perkataan kawanku dulu, waktu melamar pacarnya yang juga dari suku Bugis, mahal, katanya. Minimal harus ada uang dua puluh juta, baru diterima. Itu lima tahun yang lalu. Sekarang pasti naik harga. Dia mengurungkan niat karena tak bisa memenuhi syaratnya, meski harus meninggalkan pacarnya begitu saja dan menikah dengan janda tiga anak, tetangganya.
Huhhh... aku tahu, aku pasti mampu memenuhi syaratnya, dengan konsekuensi, dua pertiga penghasilanku habis. Itupun ditambah dengan sepetak tambak apabila dijual. Aku berfikir sejenak sambil menelan beberapa teguk minuman yang baru saja disediakan. Lalu dengan khusyuk kembali melanjutkan menyimak penerangan dari calon mertua.
“Nak Hasbi serius mau menikahi putri Bapak?” sekali lagi keseriusanku diuji.
“Insya Alloh, serius, Pak,” jawabku mantap. “saya tidak berani bermain-main dengan yang namanya pernikahan. Sekali seumur hidup, Pak.” imbuhku memastikan.
Calon mertua makin serius. Nampak dari alisnya yang merapat. Sejurus kemudian kumisnya naik, bibirnya menyunggingkan senyum yang nampak janggal di batinku.
“Saya senang melihat pemuda seperti Nak Hasbi: berani,” cetusnya. Ada nada aneh yang kutangkap dari pujiannya. “benar kata Nak Hasbi, menikah itu sekali seumur hidup. Filosofi ini juga yang digunakan oleh leluhur kami. Makanya, banyak hal yang mesti dipersiapkan, baik menjelang, ketika dan setelah pernikahan,” lanjutnya. Membuat keningku makin mengkilat.
Aku benar-benar awam tentang adat mereka. Entah bagaimana aku harus menjelaskan. Menurut pendapatku, mereka adalah pendatang di daerah ini, seharusnya mereka mengikuti istiadat setempat. Paling tidak menghargai pribumi sepertiku yang hendak menikahi putrinya, toh dia juga mau kunikahi. Kalau memang mereka datang kemari dengan niat merantau, alangkah baiknya ikut kebiasaan di perantauan. Bukankah pepatah mengatakan, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”? Di mana kita berada, disitu kita mengikuti adat istiadat setempat?
Lagi pula, di kampung ini biaya pernikahan tidak lebih dari mas kawin dan walimah sederhana saja. Paling banter ditambah dengan organ tunggal, itupun biaya sewanya tak seberapa. Bukankah lebih memudahkan kedua belah pihak? Tidak perlu ini-itu, persiapan berat atau ritual tetek bengek lainnya yang malah membangkrutkan? Kukira yang lebih penting adalah bagaimana hidup di masa depan. Punya anak dan lain sebagainya. Ah, kepalaku terlalu pening memikirkannya.
Tak lama kemudian calon Ibu mertua menyertai, duduk di samping calon Bapak mertua. Persis seperti Bapak Presiden dengan Ibu negara. Dari raut wajahnya kutahu, dia tak sabar menyaksikan perbincangan bertele-tele seperti yang kami peragakan. Sambil menawarkan makanan yang masih tertutup di dalam toples, diapun buka mulut, “Pada dasarnya ibu suka dengan Nak  Hasbi. Tapi ibu khawatir...”
“Khawatir kenapa, Bu?” selaku sambil menatap tajam muka wanita yang menurut dugaanku lebih muda lima tahun dari Emak ini.
Gini lo, Nak Hasbi. Kamu tahu kan, bagaimana pemuda kampung sini?...” dia balas bertanya. Aku merapatkan alis ke mata.
“Hmm, gimana ngejelasinnya ya...” ujarnya tidak jelas. Sambil menggigit bibir bawahnya, matanya nampak berputar-putar, seperti mencari-cari sesuatu. Sedangkan tangannya mencubit paha suaminya, sehingga ada aroma canggung di antara  kami.
Melihatnya, aku tersadarkan. Kucoba mengurai benang yang mulai kusut ini. Kuperbaiki posisi duduk agar bisa terlihat leluasa di hadapan mereka. Kupandangi mereka dengan seksama, seperti aku memandang kawan yang butuh penjelasan. Ya, memang harus kujelaskan!
“Ibu dan Bapak tidak usah ragu. Katakan saja apa yang seharusnya dikatakan. Saya pasti berlapang dada menerima apapun kehendak Anda berdua. Saya datang ke sini hanya berikhtiar, tak pernah sedikitpun terbesit dalam hati untuk memaksakan, meski saya mencintai putri Bapak dan Ibu apa adanya. Kalau diterima, saya akan bersyukur kepada Yang Maha Pengasih, berarti jodoh saya di sini. Tapi jika ternyata tidak, saya akan bersabar. Semoga Dia menjaga saya dari perbuatan yang dimurkai-Nya.” kujabarkan dengan setengah memutuskan, karena aku tahu arah pembicaraan mereka.
Dada mereka nampak naik dan sejurus kemudian turun bersamaan. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut mereka selain mata yang tercenung saling memandang. Aku tak perlu menunggu keputusan. Aku pamit bersamaan dengan laungan azan yang mengajakku untuk kembali bercumbu dengan Sang Pemilik Takdir. Rupanya waktu kebersamaanku dengan-Nya akan bertambah tanpa gangguan orang lain. Walau dalam hati aku mempersoalkan ketidaksanggupanku untuk hanya bercumbu dengan-Nya saja. Aku juga punya birahi, punya keinginan, punya sesuatu yang...
Ah!!!...
Meski berat, bagiku tidak mengapa. Aku mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Paling tidak, aku telah menyampaikan kepada mereka bahwa di kampung ini masih ada pria setangguh diriku.
***     



Bandung, 24 januari 2012


                       
















                                               






Kamis, 16 Februari 2012

coretan tinta sang penjual gorengan



“Bintang di Balik Angsana”
     
Jika kau ke kampungku, kau akan mendapati hamparan sawah seperti karpet di hotel bintang lima yang luas berteras-teras. Di antaranya pula kau bisa melihat, betapa dedaunan mini dan rumput ilalang asyik di bawah naungan pohon angsana dan albasia yang dipenggal oleh jalan kecoklatan yang apabila disirami panas mentari matamu akan silau dibuatnya.
Di sebelah kanan, kau tidak akan melihat apa-apa, karena di sana gunung berkerumun, membentuk tubuh yang saling melindungi. Tapi sebelah kirinya lain. Di situ gunung Mesjid berdiri, sedangkan di bawah lututnya bersembunyi gua Dapur tempat manusia pra sejarah menyimpan hasil panen mereka. Lalu di sebelah sebelumnya darimu, sekumpulan batu berbaris rapi hingga pinggir jalan menuju Balekambang, namanya Cadas Juragan.
Sedangkan aku memandang tiap petang, menanti mentari turun tahta sambil memandang ke arah yang aku bicarakan tadi dari atas bukit yang hampir runtuh. Dari sini, aku memperhatikan seorang anak mengikuti jejak bapaknya menjadi seorang kuli batu. Ya, kuli batu kapur.
Dari sini pula, aku melihat dengan mata sayu, seorang pemuda mengangkat batu seberat separuh tubuhnya lalu mengangkutnya ke dalam truk tua yang mereka panggil “Biawak”. Entah dari mana asal nama itu, dari penampilannya sedikitpun tak ada kemiripan dengan binatang itu. Ah... aku tak pernah bertanya tentangnya. Cuma aku pernah mendengar obrolan di antara para pekerja, mereka pernah bilang bahwa nama itu hanya pemiliknya yang pertama yang tahu. Sedangkan dia sudah tiada.
Lalu tak jauh dari pemuda itu, sedang asyik seorang ibu menyertai anak dan suaminya di antara bebatuan, menyisihkan kerikil serpihan batu yang dipukul tepat pada uratnya, lalu dikumpulkan dan ditimbang. Melupakan fitrah keibuannya.
Akupun sama: menjadi pemecah batu. Tepat seminggu setelah aku lulus sekolah, empat tahun lalu.
***
Angin selalu menghembus kencang apabila pagi menyapa. Terkadang mulutku mengumpat karena tak kuat menahan dingin yang menusuk tulang. Ini pertanda buruk bagiku, bagi anak yang ikut bapaknya, pemuda dan seorang ibu yang mendampingi suaminya. Angin ini kerontang, tak banyak membawa kehidupan. Melayukan tanaman, menghempaskan dahan-dahan bahkan mengangkut akar pohon hingga tercabut tanpa sisa. Apabila bekerja, setelahnya akan merasakan nyeri yang luar biasa pada persendian.
“Angin kemarau,” baru kali ini si Anak membuka pendapat. Aku tersenyum kecut: anak karbitan! Tapi aku sependapat, pasalnya hujan sudah hampir di penghujungnya. Biasanya, menjelang kemarau angin bertiup lebih kencang dua kali dari biasanya.
“Bukan, ini angin bala’,” timpal pemuda yang setia memikul martil seberat enam kilogram—kakaknya—sambil jahil tangannya menjitak kepala si Anak yang membalas dengan pukulan kecil di paha kakaknya. Aku melengos: sok tahu...
Kenapa si Bapak tak buka mulut? Amatku setengah mati.
Di matanya terlihat, dia sedang memperhatikan si Anak dan pemuda yang berdiri gagah di hadapannya. Di pipinya nampak geraham saling beradu. Sesekali dia memperhatikan anak dan pemuda itu, sesekali juga melirik ke arah istrinya. Mungkin dia sedang memandang istrinya dengan perasaan iba. Bagaimana tidak? Pagi buta, sebelum matahari muncul sudah menyiapkan makanan, siangnya membantunya bekerja, malamnya—tentu kalau tak terlalu lelah—melayaninya. Hah... tak sampai aku merasakannya.
Ada cekungan kelabu di kelopak matanya. Mungkin dia akan menyerah kali ini. Sebab, di siang hari puluhan ton batu terbelah di tangannya, sedangkan ketika malam, lumpur sawah tak pula luput dipijaknya memburu lindung yang keluar mencari makan. Kuajukan pertanyaan agar lebih jelas keadaannya.
“Capek, Pak?”
“Tidak,” jawabnya ringkas—pasti bohong. Tidak membuatku puas.
“Kenapa tak berhenti saja?” kupertajam persoalan, siapa tahu pancinganku tersangkut. Kutahu, telah seumur pemuda itu dia bergelut dengan batu. Seharusnya ada yang tersimpan dalam tabungannya, paling tidak di usianya kini dia sudah merasakan nikmatnya jerih payah selama bertahun-tahun memecahkan batu.
“Belum niat,” katanya. Lagi-lagi hatiku hampa dibuatnya, barangkali di lain waktu. Mungkin hatinya sudah keras seperti batu yang sehari-hari menjadi bagian hidupnya.
Kutunggu sampai angin reda...
“Kau?” tanyanya tiba-tiba menyambut penantianku.
Aku terhenyak, “Apa?”
“Ya, bagaimana dengan kau?”
“Saya?” tanyaku balik. Dia mengangguk secepat kilat.
“Ada banyak hal yang tertinggal selama saya bekerja. Mungkin...” jawabku bimbang.
 “Kenapa?” cecarnya lagi membuatku gerah.
“Oh, kalau saya... sepertinya gak lama lagi berhenti.” berbagai lipatan di wajah merubah ekspresiku. Aku sadar, si Bapak pasti heran dengan sikapku yang seperti ini. Kuraih martil yang sedari tadi berada di bawah kakiku.
“Sepertinya si Bos sudah datang. Nanti kita lanjutkan,” aku mengelak sekuat tenaga, menjauhi prasangka yang pasti berputar-putar di benaknya. Si Bapak menyetujui meski memandangku dengan tatapan sangar. Memikul martil miliknya sebagaimana aku memikul martil milikku beranjak menuju Biawak yang menanti untuk disuapi.
Batu yang ada di hadapanku merupakan bagian dari bukit yang kuinjak kemarin. Ada banyak bekas tikaman benda tajam di tubuhnya. Nampaknya pertahanannya roboh dihujani pukulan beko toktrok tiga hari terakhir. Apalagi kemarin sore, sejam setelah aku berdiri mematung di sana, tiga dentuman terdengar begitu menggema—dibom. Menghancurkan sebagian kecil bukit yang tinggal setengah. Tadinya aku membayangkan, betapa manfaat akan banyak didapatkan dari hasil pengolahan batu kapur yang diledakkan ini. Tapi...
Si Anak menghampiriku, menghentikan pekerjaanku sejenak. Di raut mukanya ada gurat kesedihan.
“Kenapa?” tanyaku kasihan. Merah di mukanya tak bisa dibendung. Di kedua sudut matanya mengalir butiran air—menangis. Hatiku ikut menangis.
“Kakakmu nakal?” soalku lagi. Dia menggeleng sambil sebelah lengannya menyeka pipinya. Kubantu dia menyeka pipi sebelahnya. Aku menganggapnya adik sendiri, terlebih karena ketiga adikku lama tak tinggal bersamaku. Walau sebetulnya aku sering dibuatnya layaknya seorang pemuda yang bodoh. Tapi aku salut, meski tak lagi sekolah dia masih nampak semangat untuk belajar.
“Abah...” jawabnya lirih seperti ada sesuatu yang mengganjal rongga mulutnya.
“Kenapa dengan Abahmu?”
“Uang tabungan saya dihabiskan Abah,” katanya mengadu.
“Untuk apa?” telitiku kemudian.
“Aaa...!” jawabnya berteriak penuh kesal, mengundang perhatian semua orang.
***
Sudah empat hari ini si Anak tak ikut bapaknya. Hatiku sungguh merindukannya. Berbagai dugaan menggelayuti fikiranku: sakitkah? Atau kemana? Entah mengapa, selama itu pula aku enggan menanyakan keadaannya pada si Bapak. Padahal tak sampai sepuluh meter aku dengannya. Tapi kali ini aku akan coba menanyakan. Nanti, setelah pekerjaan hari ini selesai...
Sepuluh ton telah terkumpul: satu biawak lebih sedikit. Sore ini langit tak bersahabat, nampak berkabung di sana. Sejurus kemudian, benih-benih hujan menyapa dan tak lama menyerbu. Aku segera menghentikan pekerjaan dan mengemas perkakas yang biasa kubawa. Warung Bu Ira kutuju dengan tergesa, menghindari hujan yang kian membesar, sambil memesan segelas kopi dan sebatang keretek aku berteduh bersama beberapa pekerja yang lain yang juga memesan menu yang sama.
Langit beranjak menuju titik terkelam, tak ada sedikitpun cahaya nampak di atas sana. Sedangkan hujan makin riuh terdengar. Kuperhatikan sekeliling. Batinku terpaku, ada yang luput dalam ingatanku: si Bapak telah pulang.
Dengan pasrah aku mengurungkan niat untuk menanyakan si Anak itu padanya.
***
Siang ini aku ijin pada Bos untuk berhenti. Siang ini pula aku tak melihat si Anak dengan bapaknya. Hanya pemuda itu yang masih bekerja dengan ibunya yang nampak muram. Aku diberinya gaji sebanyak lima puluh ton yang seharusnya tunai enam puluh ton. Yang sepuluh ton lagi potongan, katanya. Aku ikhlas, inilah rejekiku.
Aku sudah merencanakannya sejak lama, aku ingin kuliah. Kukhususkan waktuku kali ini untuk menanyakan kabar si Anak langsung ke rumahnya yang agak jauh dari pertambangan. Melewati satu kampung di belakang bukit Asar tepat di kaki gunung Mesjid.
Dari bawah gapura desa, kulihat si Bapak duduk termenung seorang diri di bawah pohon angsana di depan rumahnya yang beratap daun kelapa, berdinding bilik bambu beralaskan tanah. Sambil duduk bersila menghisap sebatang keretek, matanya nanar entah tujuan. Kudekati perlahan karena takut mengejutkannya. Aku duduk di dekatnya, sepertinya dia tak menyadari kehadiranku. Kusapa dia hati-hati,
“Apa kabar, Pak?”
“Eh, Hasby?” jawabnya. Benar dugaanku, dia terkejut. Rokok yang dihisap asapnya menghembus wajahku. Sejenak dia merapikan duduknya dan memfokuskan diri kepadaku.
Gak kerja, Pak?” tanyaku kemudian. Dia menggeleng sambil membuang muka.
“Si Bungsu kemana?” aku mengawali maksud utamaku: menanyakan si Anak.
“Ada, di kamar,” jawabnya seperti kebiasaannya—singkat.
“Sakit?” tanyaku lagi.
Si Bapak bungkam.
“Terakhir ketemu sepertinya dia sedang sedih. Memangnya kenapa, Pak?”
Mendengar pertanyaanku yang satu ini, matanya berputar-putar seperti mencari sesuatu yang hilang. Jari tengahnya memetik abu rokok ke dalam asbak yang dipenuhi puluhan batang yang tidak habis dihisap. Dadanya bangkit dan tak lama setelahnya turun. Jelas tercium dari mulutnya bau yang menyengat.
“Kenapa kamu tanya seperti itu?” kilahnya dengan mata merah menyala.
“Si Bungsu pernah bilang, katanya dia mau sekolah lagi.” jelasku meluruskan maksudku yang kukira tak salah.
“Ya! Tapi, mana boleh?”
Lho, kenapa?”
“Kenapa lagi, kenapa lagi. Memangnya gak ada pertanyaan lain selain, ‘kenapa’?” selanya dengan nada meninggi. Aku maklum, memang sudah wataknya demikian. “Si Bungsu itu sudah keterlaluan! Bapaknya lagi kepayahan dia malah minta yang nggak-nggak.” lanjutnya seraya menunjuk pintu rumahnya.
“Memangnya minta apa?”
“Dia minta ikut kakaknya ke kota. Mana boleh begitu?” ujarnya sambil beranjak meninggalkanku begitu saja, menghilang di antara belukar beruntas yang tumbuh tak tertata.
Tak lama kemudian datang seorang wanita, tetangga si Bapak. Sambil melirik kanan-kiri dia berbisik dekat telingaku, “Si Bapak semalam memukuli si Bungsu.” katanya.
Seperti tersambar geledek, aku terperanjat luar biasa. Segera kutinggalkan wanita itu lalu masuk ke dalam rumah yang pintunya tak pernah dikunci. Kucari kamar yang dimaksud si Bapak tadi. Setelah sekali salah masuk, akhirnya aku temukan sebuah balai kecil yang terbuat dari papan kayu tertutup selembar gordin lusuh biru tua yang sudah pudar, di atasnya bertumpuk puluhan pakaian yang tak sempat dilipat, mungkin baru kering. Di salah satu tiang kulihat foto si Anak sedang berdiri di depan rak buku yang berderet rapi sambil mengangkat piala: Juara I Lomba Sains Internasional Se-Asia Tenggara di Jakarta Tingkat SD.
Lalu, ada gerakkan kecil di sana: di antara tumpukan baju. Kuyakin itu si Anak. Kusisihkan satu per satu pakaian itu, kubuka dan...
“Bungsu!”
Kulihat si Anak di sana, sedang berjuang melepaskan diri dari kain yang mengikat tangan dan kakinya sementara mulutnya disumpal handuk kecil. Segera kubebaskan dia lalu kududukkan perlahan di atas pangkuanku. Di badan dan mukanya ada bekas pukulan. Benar kata wanita itu, gumamku geram.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyaku meyakinkan keselamatannya.
Dia mengangguk ragu sambil mengambil lalu memeluk sebuah buku bersampul merah yang tersembunyi di balik bantal. Pasti dia sudah kehabisan air mata. Pipinya cekung, ada lingkaran hitam membengkak di antara kelopak matanya.
“Ahhh...” suaranya serak tertahan.
“Kenapa kamu bisa seperti ini?”
Dia terisak. Tak menjawab.
“Kamu mau ke tempat kakakmu di kota?”
Dia mengangguk lalu menggeleng. Lho?
“Lalu?”
Dia masih terisak: diam.
“Kamu minta apa sama Bapakmu?” cecarku tak henti agar aku tahu alasan si Bapak menganiaya anaknya setega ini.
Dia masih tak menjawab.
“Kamu minta mainan?”
Gak,” ujarnya hampir tak terdengar. Akhirnya dia bersuara.
“Makanan mahal?”
Lagi-lagi dia menyanggah.
“Lalu kenapa? Kata Bapakmu, kamu minta yang nggak-nggak, apa?” cecarku penuh amarah. “Kalau kamu perlu apa-apa, bilang saja sama Akang, jangan sama bapakmu. Yuk, bilang, mau apa?” bujukku menentramkan hatinya.
Matanya berkaca terus mengalirkan airnya. Aku tahu ini akan menjadi masalah bagiku bila aku turut campur di dalamnya. Tapi hal seperti ini tidak bisa di biarkan. Ini kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan, bisa diancam pidana berat. Apalagi korbannya adalah anak-anak di bawah umur. Perlahan kududukkan si Anak supaya jelas menghadapku. Sedikit menggoncang-goncangkan tubuhnya mungkin akan membuka mulutnya.
Setelah beberapa kali mengusap air matanya si Anak menyerahkan buku yang digenggamnya padaku. Kubalikkan sampulnya, ternyata buku raport. Tertera di halaman muka: Yusman Irawan.
“Ini punyamu?”
Dia mengiyakan.
Fantastis! Ini yang keluar dari mulutku. Begitu kubuka lembaran-lembaran hasil belajar, nilainya rata-rata sembilan! Bulu kudukku berdiri semua, takjub setengah mati. Hatiku gerimis dibuatnya. Seorang anak kuli batu yang hebat.  Ternyata ini yang ditangisinya selama ini: mengejar prestasi. Seperti ada sebiji batu yang menghalangi tenggorokanku. Aku sungguh terharu sekaligus prihatin.
Sambil menggamit tanganku, si Anak berkata,
“Saya cuma minta seragam sekolah, Kang...”
***
Senin, 30 Januari 2012